Sumber Foto: secoursrouge.org
Oleh: Fadlan Naufal R.
Sampai saat ini kepala saya masih dalam belenggu-belenggu pertanyaan−terakhir pertanyaan itu muncul sebelum menulis ini, saat ke kamar mandi kebelet berak. Apakah polisi tak punya sedikit saja perasaan malu dan salah? Tidakkah polisi sekali saja pernah merindukan perubahan? Ataukah malah buta dengan perubahan? Bernapas di atas keramik relasi kuasa, represif, tak lupa pula berdiri seperti malaikat dan maha benar. Berapa lama lagi lelucon itu akan dirawat?
Rasa muak yang muncul mulai membelukar, lalu mengerang ketika saya membaca berita-berita yang senada dengan narasi: “Oknum Polisi Belitung Cabuli Anak Panti yang Ingin Melapor”, “Lima Anggota Polisi Pesta Sabu di Depok”, dan seterusnya. Sialnya, berita-berita yang merepresentasikan kekocakan Oknum Polri yang banyak itu seakan tak ada habisnya. Puncak rasa muak muncul di kala terbit berita Tempo pada hari Selasa, 2 Juli 2024 yang mengangkat persoalan Irjen Suharyono−Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Barat (Kapolda Sumbar)−mau mencari orang yang telah memviralkan kasus Afif Maulana. Afif Maulana sendiri merupakan anak 13 tahun yang ditemukan tewas di kolong jembatan Kuranji, Kota Padang. Afif diduga meninggal sebab dianiaya oleh oknum aparat kepolisian.
Pengakuan ingin mencari pelaku pemviralan itu dilontarkan oleh Suharyono dengan dalih si pelaku penyebaran kasus tersebut telah menuduh Institusi Polri melakukan tindakan kekerasan hingga menghilangkan nyawa orang lain. Bukannya introspeksi, menelisik lebih objektif dan substansial, mereka lebih memilih mencari tahu siapa pelaku penyebaran pertama. Mereka seakan melupakan slogan keren terbarunya: Prediktif, Responibilitas, dan Tanparansi Berkeadilan (Presisi). Kecewa membacanya, sebab berbeda implementasinya: merespon dengan represif, prediktif yang sok tahu, dan kejujuran CCTV yang dikubur sembunyi-sembunyi.
Terpisah, Presisi ini adalah konsep yang digaungkan pertama kali oleh Listyo Sigit ketika masih menjadi calon Kapolri dan menjalani uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Rabu (20/1/2021). Prinsip ini, dalam tirto.id, diciptakan untuk menekankan pendekatan pemolisian yang prediktif. Selain itu, diharapkan oleh Sigit, bisa membangun kejelasan dari setiap permasalahan seperti keamanan dalam kehidupan sosial masyarakat.
Menilik dari sisi lain, pada saat yang sama, dengan slogan dan semangat baru itu tindakan institusi ini rasanya justru semakin keras dan arogan. Mereka melakukan peradilan melalui tangan-tangannya yang tak berpikir panjang. Belum lagi nasib kasus-kasus yang terancam ditutup karena kadaluwarsa, padahal masih sangat perlu untuk digali secara serius.
Apakah harus viral dulu baru boleh dipukul tuntas? Bagaimana jadinya jika sudah booming, tapi jua tak tuntas? Seperti daftar kasus dalam catatan panjang Komnas HAM yang selanjutnya dikutip dalam IDN Times: Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari Lampung 1998, Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, pembunuhan Munir−Aktivis HAM, dan seterusnya.
Institusi ini seharusnya menjadi penegak HAM dan mengadili pelanggar HAM. Namun, kita kembali dibenturkan pada realita bahwa sepanjang tahun 2022, Komnas HAM menerima sedikitnya 3.190 aduan dari masyarakat dan instansi yang paling banyak diadukan adalah Polri. Lantas, slogan ter-anyarnya pun semakin kontradiktif.
Perlu ada pertimbangan kritis, apalagi di negara yang melanggengkan impunitas seperti di negeri kita ini. Apakah wajar bila kita tidak mempertanyakan ‘mengapa’ kepolisian bukannya mengadili anggotanya, tapi justru mencari orang yang memviralkan kasus AM? Sudahkah Polisi kehilangan gairah pada slogan Presisi-nya itu? Atau, apakah kita tengah melihat pertunjukan arogansi rasa tak bersalah dari pihak kepolisian yang tidak coba diperbaiki? Entahlah.
Kalau kita lihat catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), dalam periode Juni 2020 sampai Mei 2021, dan Juli 2021 sampai Juni 2022, ada realitas suram lagi. Tercatat, terdapat 651-677 kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat terhadap masyarakat sipil. Berangkat dari data KontraS ini, terungkap jenis kekerasan yang paling banyak ditemukan adalah penembakan, penangkapan sewenang-wenang, penganiayaan, pembubaran paksa, dan penyiksaan. Menengok dari apa yang telah saya paparkan di atas, tentu belum termasuk kasus yang belum terkuak. Jadi coba tebak, ada berapa banyak total kasus/tindak kekerasan yang telah dilakukan oleh polisi sampai saat ini?
Saya pikir, sedikit banyaknya, institusi ini telah merasakan dampak dari apa yang dilakukan anggota-anggotanya sendiri—yang seharusnya perlu ditindak lebih lanjut. Dampak itu ialah hilangnya kepercayaan masyarakat sipil. Tidak pula dapat dipungkiri bahwa opini publik tersebut merupakan buah dari kesadaran akan kontradiktifnya slogan fungsi dan implementasi institusi tersebut sebagai aparat penegak hukum. Kebanyakan dari mereka–orang-orang di sekitar saya khususnya–sudah tidak percaya dengan aparat. Lebih jauh lagi, lost interest terhadap Polri dan negara.
Akankah kita menyalahkan orang tersebut? Atau apakah masuk akal apabila kita mempersalahkan rakyat kehilangan kepercayaannya? Saya kira tidak. Rakyat, secara penuh, berhak merespon ketidakadilan yang mereka rasakan. Bahkan, menuntut keadilan dan hak pribadinya. Mari kita akui, bahwa sampai saat ini persoalan nama baik masih menjadi alasan untuk membuat alibi-alibi usang—yang mendiskreditkan harkat martabat kemanusiaan.
Gamma, Lenyap di Tangan Polri
Tempo hari saya membaca informasi dalam berita Kompas.com. Seorang Siswa (16 thn) SMKN 4 Semarang dikabarkan tewas ditembak polisi berinisial R di sekitar Perumahan Paramount, Semarang Barat, Minggu 24 November Pukul 01.00 dini hari. Total ada 3 anak, satu orang meninggal dan dua lainnya selamat.
Saya tidak bisa membayangkan betapa bodoh polisi-polisi hari ini. Saya jadi percaya pernyataan-pernyataan netizen, bahwa mereka hanya anak SMA yang lantas diberikan senjata. Sebab jelas, penggunaan senjata api untuk aparat kepolisian sudah diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian. Ataukah, mereka tidak tahu?
Maka, berhati-hatilah, sebab di sekeliling kita berkeliaran sipil-sipil bersenjata yang bisa menghunjam kita dengan baja panas kapan saja tanpa tahu aturan. Bila orang-orang itu tidak tahu, kenapa kita sebagai sipil terpelajar tak boleh memegang senjata? Apa menurut mereka kita lebih bodoh? Saat ini saya malah berpikir; bila kita tak boleh, harusnya mereka juga tak boleh! Bolehnya hanya senjata mainan saja.
Kita coba masuk ke dalam peraturannya. Dijabarkan dalam pasal 3 huruf E: penggunaan kekuatan oleh polisi harus bersifat preventif, dalam arti; sifatnya harusnya berupa pencegahan, bukan menembakkan baja panas sampai menembus pinggul anak 16 tahun. Atau lebih jauh dalam, dalam Pasal 5 ayat 1 huruf F: Kendali dengan menggunakan senjata api atau alat lain yang menghentikan tindakan perilaku pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri atau anggota masyarakat.
Dengan terjadinya penembakan ini−disebutkan dalam Press Release PBHI−polisi telah memilih menggunakan penggunaan kekuatan tahap ke-enam. Maka dari itu, patut kita pertanyakan bersama-sama; seberapa berbahaya bocah tujuh belas tahun di hadapan oknum R? Apakah dia coba memukul si R dengan satu pukulan maut? Atau menodong basoka ke mukanya? Setan pun tak tahu.
Pihak Polri mengatakan, Gamma dan kawannya terlibat tawuran. Lalu, Kapolrestabes Kota Semarang pun meneruskan, anggota berinisial R itu menembak karena korban melawan saat ingin dilerai–korban dituduh melawan oleh polisi. Sementara di sisi lain, berdasarkan informasi yang termaktub di dalam berita Serambinews.com, pihak satpam yang berjaga di area itu mengatakan tidak ada tawuran malam itu. Pun pihak sekolah mengatakan Gamma merupakan anak berprestasi dan pribadinya tak mungkin terlibat geng untuk tawur-tawuran. Kawannya pun sama, membantah bila Gamma terlibat ke hal-hal demikian. Dan sampai kini, saya masih skeptis dengan pra-rekonstruksi yang telah dilakukan oleh mereka, terlebih saksi-saksi tersebut sempat diperiksa pihak kepolisian tanpa pendampingan hukum.
Saya pikir kita sudah cukup pintar untuk melantangkan mosi tidak percaya terhadap Polri. Walaupun CCTV coba dibungkam, juga Gamma dituduh tawuran, bukti pernyataan dari bapak satpam, teman-teman Gamma, keluarga, dan pihak sekolahnya bagi saya lebih mulia dan bisa dipercaya. Saya pikir setan pun tidak punya alasan untuk percaya, mengingat kebobrokan-kebobrokan yang telah dijabarkan di bahasan awal. Tanpa bermaksud mengikuti setan, sebagai manusia terhormat, sekotor apa kita akan percaya pada apa yang setan saja sepertinya dikalahkan dalam berbohong?
Tidak masalah apabila mereka bertandang ke tempat-tempat CCTV hanya untuk menyalin atau melihat demi keperluan pengusutan dan pengambilan barang bukti secara jujur dan objektif. Tapi kalau dimusnahkan, bagaimana bakal jadinya? Bakal dilarikan kemana keadilan? Atau, kalau tiba-tiba mereka mengeluarkan pernyataan “rekaman CCTV terhapus sendiri” lagi seperti kasus di Batam, adek kita Afif Maulana? Atau seperti kasus Ferdi Sambo?
Andai Gamma Memang Tawuran
Pakar Kriminologi Universitas Diponegoro pun turut menanggapi, pelaku tersebut harusnya dikenakan sanksi etik dan pasal 338 KUHP. Kemudian, seolah ingin mengajari si R cara bermain polisi-polisian yang benar, ia mengatakan, “Harusnya tembak ke atas dulu. Kemudian tembak tanah. Jika pelaku masih menyerang, bisa tembak kaki. Menembak langsung ke arah pinggul itu tidak dibenarkan,” ucapnya dikutip dalam Tribunnews.com. Ia pun mempertanyakan seberbahaya apa bocah itu sampai Polisi R ini sampai melepaskan tembakan mematikannya ke korban.
Tak bisa dipungkiri memang betapa bodoh dan tidak pantaslah memegang senjata api.
Harusnya, Mereka Malu
Saya berpikir, Polri memang harus direformasi, perlu dilakukan revisi habis-habisan. Polri memerlukan kritik-otokritik pada tubuh institusi, lewat tindakan tegas pada anggota-anggota yang mencoba bermain, represif, dan lepas kendali seperti anjing gila. Polri perlu memperbaiki citra secara objektif dan implementatif, alih-alih menutupi apalagi merekayasa sebuah tragedi.
Polri harus menjadi manusia terhormat, atau kawan-kawan mahasiswa dan rakyat dengan moral imperatifnya yang akan memberikan tutorial berhati nurani dengan: beberapa molotov, mungkin. Sejauh ini, harap saya yang ada di ujung kalimat hendak berdentum: hentikan kekerasan, pembunuhan, dan adili yang pantas diadili. Musuh polisi bukan rakyat, apalagi anak-anak.
Musuh Polri sama dengan kami, sebagai sipil yang sangat biasa, yaitu Oligarch, Kapitalis, dan orang-orang yang memonopoli kebenaran. “Sayang, kalimatmu begitu naif dan utopis. Bagaimana mungkin mereka akan mendengar apalagi merasakannya saat mereka sendiri menutup hati, mata juga telinga?” Ya, saya membayangkan kalimat itu keluar dari mulut Tita, pasangan saya.
Ya, meski tidak semua. Harusnya, polisi-polisi itu malu.