Sampah dan Perlawanan: Ketika Sampah Memantik Suara Rakyat Pemalang

Para demonstran dengan sengaja menumpahkan sampah di depan Kantor Bupati Kabupaten Pemalang (Sumber Foto: Istemewa)

Oleh: Diana Syaputri

Klikdinamika.com– Siapa sangka, Pemalang yang dikenal sebagai kota minim aksi demonstrasi, mendadak diguncang amarah warganya. Senin (30/12/24), puluhan demonstarn melakukan aksi dengan membawa dua dump truck penuh sampah yang kemudian ditumpahkan dengan sengaja di halaman Kantor Bupati Kabupaten Pemalang. Bau menyengat menyebar, menciptakan suasana yang tak jauh beda dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Puluhan warga yang tergabung dalam aksi ini, berteriak-teriak meminta bupati segera turun tangan menangani masalah penumpukan sampah yang mereka anggap sudah darurat. “Kami membawa sampah ini sebagai hadiah ulang tahun Bupati Kabupaten Pemalang,” ucap Muliadi sebagai koordinator aksi (28/12/2025).

Puluhan warga yang tergabung dalam aksi ini, berteriak-teriak meminta bupati segera turun tangan menangani masalah penumpukan sampah yang mereka anggap sudah darurat. “Kami membawa sampah ini sebagai hadiah ulang tahun Bupati Kabupaten Pemalang,” ucap Muliadi sebagai koordinator aksi (28/12/2025).

Alasan Tak Jelas Tutupnya TPA Pesalakan

Aksi itu berawal dari penutupan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang berada di Desa Pesalakan, Pegongsoran, Kec. Pemalang, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. DI mana TPA itu telah menjadi tempat utama pembuangan sampah dari seluruh Kabupaten Pemalang selama kurang lebih 30 tahun.

Penutupan ini dilatarbelakangi oleh desakan warga sekitar yang mengeluhkan buruknya pengelolaan sampah. Serta, masyarakat tidak mendapatkan kompensasi yang layak. “Kita tidak mendapatkan kompensasi yang layak, sampah sudah menumpuk sampai bergunung-gunung sehingga dapat membahayakan rumah warga yang di dekatnya. Karena pernah dahulu ada kejadian kebakaran,” ucap Ririn, warga desa Pesalakan (13/1/2025).

Dari data Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Pemalang, setiap hari Pemalang menyumbang sampah sekitar 250 ton per hari. Dari banyaknya sampah tersebut, sampah hanya dibiarkan begitu saja yang menyebabkan Overload. 

Selain hanya dibiarkan, kurangnya tenaga kerja dan alat berat yang ada di TPA, tidak sebanding dengan banyaknya sampah.“Ada tiga unit alat berat, salah satunya ekskavator, yang bekerja dari mulai dari jam 08.00 sampai jam 16.00 WIB,” ujar Wiji Mulyati, selaku kepala DLH saat di tanya oleh salah satu perwakilan dari Aliansi Masyarakat Peduli Lingkungan (AMPEL).

Namun, AMPEL mengatakan bahwa isu yang yang beredar oleh masyarakat, menyatakan ekskavator itu hanya bekerja selama 2 jam saja. “Setahuku juga tidak selama itu, dari jam 11.00 sampai 13.00 istirahat, lalu di jam 15.00 atau jam berapa lanjut kerja lagi satu jam,” kata Ririn.

Selanjutnya, adanya penutupan TPA ini membuat Aliansi Kelompok Pelayanan Sosial (KPS) Sedulur Ratan Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, melayangkan surat terbuka kepada Bupati Pemalang, Mansur Hidayat. Dalam Surat bernomor 001/ST-KPS-SRB/I/2025 ini mengecam keras kebijakan Bupati yang dinilai telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan mengakibatkan pencemaran lingkungan yang serius dan diserahkan ke Bupati Pemalang pada Selasa, (07/01/2025). “Keputusan penutupan TPA Pesalakan merupakan bentuk keputusan yang gegabah dan tidak memperhitungkan dampaknya terhadap jutaan warga Kabupaten Pemalang,” tulis Bambang Sutanto, Ketua Aliansi KPS Sedulur Ratan, dalam surat terbuka kepada Bupati Pemalang.

Kondisi ini, menurut Aliansi KPS, merupakan pelanggaran terhadap Pasal 28H UUD 1945 dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari HAM.

Selain itu, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) menyampaikan bahwa Penutupan TPA Pesalakan tentu bukan solusi yang nyata, karena dapat menyebabkan dampak yang lebih buruk.

“Penutupan TPA Pesalakan tentu bukan solusi nyata yang terjadi akibat pengelolaan TPA yang tidak baik. Hal ini serupa dengan Jogja yang menutup TPA Piyungan yang juga mengundang gelombang protes dari masyarakat. Dampak yang terjadi tentu akan menciptakan TPA ilegal baru, pembuangan sampah sembarangan, dan memperburuk pengelolaan sampah di daerah tersebut,” kata Nur Cholis salah satu anggota WALHI (16/1/2025).

Pemerintah dan Masyarakat Saling Tuduh

Usai berakhirnya demo tersebut, tiba-tiba muncul surat somasi yang ditujukan untuk Muliadi selaku koordinator aksi, setelah menerima surat itu, Muliadi langsung menanyakan kepada Bupati Kabupaten Pemalang melalui telepon. Mansur Hidayat mengatakan bahwa bukan aksinya yang disomasi, tetapi pembuangan sampahnya yang dianggap melanggar hukum. Mereka beranggapan aksi itu membuang sampah sembarangan, ketika tidak minta maaf akan dikenakan sanksi dengan ancaman Undang-Undang Dasar.

Aksi simbolis demonstran dengan sampah sengaja dibuang dan digeletakkan di jalan sekitar Kantor Bupati Pemalang (Sumber Foto: Istimewa)

Dalam surat somasi bernomor 100.3.11.1/005063/2024 yang dikirimkan pada (31/12/24) menyatakan keberatan adanya aksi demonstrasi, dan tindakan tersebut tidak hanya mencemari lingkungan, tetapi juga melanggar sejumlah ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Pasal 29 ayat (1)  huruf e Undang-undang Nomor 18 tahun 2008, Pasal 35 huruf a dan pasal 57 Peraturan Daerah Kabupaten Pemalang Nomor 13 Tahun 2012, dan Pasal  489 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang setiap orang dilarang membuang sampah tidak pada tempat yang telah ditentukan, kenakalan terhadap orang atau barang yang dapat menimbulkan bahaya dan setiap yang melanggar akan dipidana.

Alasan pengeluaran surat somasi tersebut, menyebutkan bahwa tindakan tersebut tidak pantas karena dianggap tidak menjaga “marwah pemerintah”. Menyikapi hal itu, perwakilan AMPEL menjawab dengan tegas, “Marwah mana lagi yang harus dijaga, jika Pemalang sudah penuh dengan sampah?” Sahut salah satu dari AMPEL.

Meski demikian, di malam harinya surat itu langsung di cabut. Sebagaimana dilansir dari harianpemalang.id, Jumat, (3/1/25). Dalam video beredar, pemerintah daerah menetapkan somasi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, sehingga tidak perlu membahas terkait dengan somasi tersebut. Merespon itu AMPEL tidak tau menau mengetahui alasan dicabutnya surat somasi tersebut.

Pemerintah Gagal, Warga Bergerak

Para demonstran yang berunjuk rasa (Sumber Foto: Istemewa)

Aksi yang diikuti lebih dari 50 demonstran ini, mempertanyakan keseriusan Bupati Pemalang dan dinas terkait yang ditujukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Pemalang, dalam mengatasi krisis dan darurat sampah yang hingga kini belum tertangani. Mereka meminta kepastian penanganan banjir sampah yang menggenangi seluruh penjuru yang terus dibiarkan hingga saat ini. Selain itu, mempertanyakan mengapa TPA  Pesalakan yang seharusnya masih bisa menampung sampah, justru ditutup.

Usulan demo ini berawal karena kekecewaan masyarakat akan adanya sampah yang menumpuk. Banyak perwakilan dari masyarakat yang mengeluhkan akan dampak negatif yang diterima. “Pedagang makanan kecil terpaksa tutup karena merugi. Kebetulan mereka jualan di dekat tumpukan sampah. Baunya sangat mengganggu hingga lalat-lalat mengerubungi dagangan mereka,” ucap Muliadi.

Ia juga mengatakan, kalau pemerintah sudah menjalankan tugasnya dengan benar. Tidak mungkin kita melakukan aksi ini. “Kalau pemerintah bagus kita tidak mungkin melakukan aksi ini, kita merasa mereka gagal dan sekarang terbukti gagal,” imbuhnya.

Salah satu demonstran, Walid juga menambahkan bahwa aksi ini terbentuk karena pemerintah gagal dalam menangani masalah sampah yang menumpuk tanpa adanya solusi nyata. “Kita demo, karena kurang sempurnanya pemerintah pemalang untuk menanggulangi sampah yang menumpuk. Bukan kurang sempurna, tetapi pemerintah dalam menangani sampah gagal, sampai sekarang tidak ada solusi,” Pungkasnya (16/1/2024).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *