Sumber Foto: Meta Ai
Oleh: Siti Efrilia
Dari atas jembatan yang cukup tinggi, terlihat bagaimana hiruk pikuk kota metropolitan ini. Cuacanya panas, bau asap kendaraan bercampur dengan suara bising. Di bawah sana, ketimpangan sosial terpampang jelas dengan nyata.
Kenapa hidup itu harus ada pencapaian? kenapa hidup tidak hidup saja sampai menunggu ajal? Kenapa manusia harus berlomba-lomba untuk memiliki pencapaian? Kenapa manusia harus dibanding-bandingkan terkait dengan orang sukses dan orang tidak sukses? Padahal katanya hidup untuk menunggu mati.
Apalagi setelah melihat anak kecil dengan baju robek dibagian bahunya, menawarkan tisu dan minuman merek terkenal kepada seseorang yang mengendarai mobil dengan bau parfum mahal menguar di badannya. Hidup itu tidak adil. Ada orang yang sedari kecil terlahir dengan sendok emas, atau istilah kata hidupnya enak, keluarga harmonis, dan berkecukupan sehingga ketika meminta besok liburan ke Malang, langsung dituruti oleh orangtuanya. Disisi lain, ada orang yang sedari kecil harus mengalami kesulitan dengan hidup pas-pasan, bahkan bisa menjadi kurang, ditambah lagi keluarganya berantakan karena masalah ekonomi. Pikiranku terlalu sukar untuk menemukan ujung benang semrawut ini, sampai di titik, gunanya aku hidup ini untuk apa?
“Ada rokok, Mas?”
Aku terkejut, hampir saja terjatuh dari jembatan ini jika bapak-bapak dengan jaket hijau neon tidak memegang lenganku cukup erat.
“Saya ga merokok, Pak.” Kataku sambil mentralkan detak jantung karena masih terkejut dengan kehadiran bapak tadi yang menyela sesi melamunku.
“Maaf mas, saya tadi ngagetin pasti,” ucapnya dengan nada sedikit menurun dan diakhiri kekehan tidak enak, tangan kanannya menggaruk leher belakang, canggung.
Aku mengangguk dan ikut terkekeh canggung sambil mengusap lenganku sendiri.
Bapak tadi naik ke atas jembatan, duduk di sampingku,
“Masnya ngapain duduk disini?” Ucapnya setelah itu. Kulihat sekilas dari logo di jaketnya, pasti dia salah satu ojek online yang mungkin sedang lewat di sekitar sini.
“Ga ngapa-ngapain, Pak. Cuma lagi suntuk aja mikir skripsi,” jawabku sekenanya.
“Wah, saya iri banget sama orang-orang yang pusing mikir skripsi,” responnya dengan diakhiri kekehan kecil.
Aku bergeming, mencerna ucapan si bapak ojek online, di dalam hatiku langsung tersimpulkan bahwa bapak ini mungkin salah satu orang yang ingin kuliah tetapi tidak kesampaian. Aku jadi sedikit tidak enak.
“Bukan bermaksud ingin membanding-bandingkan atau membuat masnya ngerasa kalau, wah ternyata masih ada orang yang iri dengan sesuatu yang menjadi kesulitan masnya, tapi saya cuma takut masnya loncat karena mikir skripsi. Dari tadi saya udah bolak-balik liat masnya masih di atas sini sambil ngelamun.” Katanya yang kembali dia akhiri dengan kekehan.
Aku tertawa kecil, tidak menyangka bahwa ada orang yang berpikir aku sedang ditahap depresi dan ingin bunuh diri.
“Enggaklah, Pak. Walaupun memang sering menanyakan untuk apa saya hidup, saya masih sayang nyawa saya. Saya cuma lagi suntuk dan pengen liat dunia luar.” jawabku sambil tertawa. Bapak ojek online pun ikut tertawa.
“Liatin anak-anak jalanan itu ya, Mas?” tanyanya yang kurespon dengan anggukan.
“Kasihan ya, Pak. Mereka ga salah apa-apa, kenapa hidupnya susah sekali. Kalau boleh disalahkan atas kesusahan mereka, siapa yang patut disalahkan?” Tanyaku sambil melihat mereka.
“Dulu saya mikir hidup itu ga adil, iya memang benar hidup itu ga adil untuk orang-orang susah seperti saya. Tapi lama kelamaan saya mikir kalau hidup itu sebenarnya bukan masalah adil ga adil, tapi tentang gimana kita bisa tetap hidup sampai kita mati.” Jawabnya dengan nada santai.
Aku bergeming, menunggu kelanjutan ucapan bapak tadi. Ia menghembuskan napasnya,
“Kalau kita telisik ke akar-akarnya, kita gabisa nyalahin salah satu pihak. Kita gabisa nyalahin orangtuanya yang mungkin kurang mampu tapi malah punya anak dan anaknya dieksploitasi untuk berjualan seperti mereka, kita gabisa nyalahin pemerintah dengan menanyakan kenapa pemerintah ga punya suatu program untuk menangani anak-anak jalanan, kita juga gabisa nyalahin kenapa masyarakat sipil yang dianggap mampu, tidak memberikan suatu bantuan ke mereka. Karena yang dibutuhkan sekarang bukan lagi soal siapa yang salah di sini, tapi bagaimana persoalan ini bisa diatasi dan bisa dicegah untuk kedepannya,”
Bapak ojek online ini ternyata memiliki pemikiran yang bahkan di luar dari pemikiranku.
“Saya jadi ngerasa ga pantes kalau ngeluh sama kesulitan saya pas ngerjain skripsi, Pak,” ucapku sambil menatap ke anak kecil yang kini sedang membersihkan kaca mobil seorang pengendara. Keluhanku soal pendidikan, di mana pendidikan tidak semua orang bisa merasakan. Bisa mengeyam pendidikan tinggi merupakan suatu keberuntungan.
“Ngeluh itu hak semua manusia, tapi ngeluh juga ada tempatnya. Maksudnya gini, orang kaya ngeluh gabisa dapet tas mahal yang dia incer, ngeluhnya dia harus ke orang yang juga sama-sama kaya. Jangan ngeluh ke orang miskin yang buat makan hari esok aja kebingungan. Karena kalo masnya ngeluh ke orang yang salah, masnya cuma jadi ajang perbandingan hidup,”
“Tapi jadi orang juga jangan sampai ngeluh terus. Masih dikasih napas buat hari ini juga harus bersyukur. kalau kata Jusuf Hamka, hidup itu yang penting cukup, cukup itu pas kita ada mau beli sesuatu, terus ada uangnya,”
“Saya mulai bersyukur kok mas walaupun cuma jadi tukang ojek online, karena kalau dilihat di luar sana, masih banyak pengangguran yang kerjanya luntang-lantung.” Kata bapak ojek online dengan tangannya yang mengelus jenggot didagu.
“Bapak tau nggak kenapa orang Indonesia banyak yang miskin?” Tanyaku kemudian.
“Kenapa?”
“Karena orang Indonesia banyak bersyukur,”
Bapak tadi terdiam, mungkin sedang mencerna ucapanku, tetapi sedetik kemudian tawanya berderai.
“Pengaruh agama dan budaya yang ngajarin orang Indonesia untuk bersyukur, filosofi yang digunain adalah hari ini ya untuk hari ini, kalo besok, urusan besok. Karna fokus dengan kehidupan saat ini, orang Indonesia itu cenderung lebih sedikit menyesali masalalu dan khawatir akan masa depan. Yang penting hari ini bahagia saja sudah cukup bagi mereka. Kemiskinan bagi mereka juga kadang dijadikan lelucon.” Kataku memperjelas kenapa orang Indonesia banyak bersyukurnya.
“Indonesia juga cuma ada dua musim ya kan, Mas. Musim hujan dan musim kemarau, jadi mau nyari makan kapan aja di dua musim itu bisa, maka muncul istilah hari ini untuk hari ini.” Lanjut bapak ojek online.
Aku mengangguk setuju.
“Contoh nyatanya sudah ada di depan mata, Pak.”
Di seberang sana, sekitar 20 meter dari jarak pandangku, ada segerombolan bapak-bapak dan mungkin siswa SMA terlihat dari seragamnya, sedang asik menertawakan sesuatu di sebuah angkringan pinggir jalan. Tawa mereka berderai dengan santai seperti tak ada masalah di hidup mereka.