Obituari: ”Perjalanan yang tak Pernah Terselesaikan. Selamat Jalan, Kik!”

Sumber Foto: Izlal/DinamikA

Teruntuk Kawan-Kawan Sependeritaan

(Fatah Akrom)

Januari kali ini, Salatiga mendung menggelayuti langit. Tidak ada langit kemerah-merahan di tengah rawa. Ah, aku baru ingat, Kik, aku belum sempat mengajakmu melihat langit sore di bibir sempadan Rawa Pening atau di Gunung Gajah. Mungkin jika aku sadar bahwa sore itu menjadi sore terakhir kita, aku pasti mengajakmu dari dulu, itu pasti. Kita akan membahas banyak hal yang kamu suka. Seperti krisis iklim sampai psikoanalisis atau terserah dirimu. Bukan malah menghabiskan sore sendu dalam cahaya di sela-sela ventilasi rumah sakit.

Menuju 40 hari kepergianmu, dalam sisa kesadaran bahwa kematian adalah sesuatu yang mutlak. Realitas nyata bahwa tak ada kematian yang benar-benar dipersiapkan. Sebuah obituari untuk orang biasa, untuk dirimu yang terlalu sederhana.

Pada pemutaran film dan diskusi “Cross The Line” beberapa bulan lalu, aku masih mengingat jelas: kita mengafirmasi bahwa tak semua anak muda tak benar-benar punya pilihan hidup. Ya, seperti tulisan yang waktu itu aku kirim berjudul Underprivileged Gen Z Ibu Kota: Hidup Miskin, Woke, dan Punya Ganguan Mental. Kita setuju bahwa kita adalah kawan sependeritaan. Ya, jelas pertemuan kita berkumpul melampaui organisasi belaka.

Tapi, apakah pada penderitaan kita masing-masing, kita akan menjemput kematian dengan paksa? Kita kembali berpikir dan menemukan jawaban: kenapa kita berusaha untuk tetap hidup? Sepertinya kita tak benar-benar menginginkan kematian, hanya ingin membunuh sesuatu di dalam diri.

Pertemuan kita terlalu singkat. Pada perjalanan yang tak terselesaikan, harusnya obrolan kita masih panjang. Hidup terlalu singkat untuk seorang pemimpi seperti kita. Bukan omongan kita yang terlalu tinggi, tapi memang mimpi kita seluas samudera.

Kamu belum sempat benar-benar menyelesaikan tulisanmu soal ekologi dan krisis iklim. Aku tahu kamu merasa bahwa dunia sudah rusak dan tak layak huni. Bukan berarti kamu harus pulang duluan, Kik! Bukannya kita punya grup pengembara buat nanjak Ungaran akhir bulan depan? Habis masak tak punya uang, kita merokok ketengan muter untuk berenam lebih. Katamu sendiri, kamu tak akan tinggalkan temanmu dalam kondisi apapun. Tapi kenapa malam itu kita benar-benar meratap di depan ruang jenazah?

Setelah beberapa hari berselang, kita menyadari bahwa meratapi kematian adalah kekanak-kanakan dalam kehidupan. Kata Jalaluddin Rumi, “Mengetahui bahwa adalah Engkau yang mengambil kehidupan, kematian menjadi sangat manis. Selama aku bersama-Mu, kematian bahkan lebih manis dibandingkan dengan kehidupan itu sendiri.” Kematian adalah kiamat kecil yang mutlak oleh siapa pun. Aku sekarang paham kenapa kamu sering berkata, “Bumi rusak dan tak layak huni,” karena kamu layak untuk di surga.

Oh, satu lagi, Kik! Aku sempat mendengarkan rekomendasi lagumu, Sweet Child O’ Mine milik Gun N’ Roses. “Reminds me of chilhood memories, Where Everything was as fresh, As the Bright Blue Sky”. Semoga mendung lekas berlalu dan langit segera membiru.

Terima kasih atas kesempatan untuk mengenal dirimu. Pertemanan abadi adalah omong kosong. Terlukalah hingga kau sembuh! Mengerti rasa sakit jauh membuat dirimu bersikap lebih baik. Kita adalah pengembara dalam hikayat perjalanan yang tak terselesaikan. Sepuluh tahun ini, memori itu tetap basah. Kematian yang tenang mungkin adalah hal yang tak pernah dikenang oleh orang banyak, namun kita abadi dalam tulisan-tulisan itu.

“Orang-orang seperti kita tidak pantas mati di tempat tidur,” ungkap Soe Hok Gie suatu ketika. Benar saja, aktivis tersebut tidur dalam keabadian di Gunung Semeru. Sungguh, hidup penuh bahaya, seperti Soe Hok Gie atau Chistoper McCnadless, jauh lebih baik daripada hidup aman tapi terbelenggu dalam penjara kota.

Ya, kita di penjara. Tak percaya?

Baiklah. Kamu bisa saja pergi mengejar mimpimu sekarang juga; detik ini juga. Tapi, dirimu malah memilih untuk berbaring di kamarmu yang hangat, membaca tulisan ini dalam kenyamananmu. Kamu lupa bahwa di luar sana ada petualangan yang menantimu untuk menjadi manusia. Supaya membuatmu sadar bahwa dirimu bukan mesin yang mesti sekolah, kuliah, bekerja, menikah, lalu mati.

Sampai jumpa di perbincangan paling panjang tentang kehidupan setelah kematian. Tenang di surga, Kik. Teman-teman bakal kangen.

Bersemilah, Bermekar Sekebun di Surga

(Ahmad Ramzy)

Di ruang kamar kost Bu Poppy berukuran 4×3 meter, Aku, dirimu, dan Fadlan adalah teman diskusi yang paling mengasyikkan. Dulunya, aku hanyalah sosok yang sering kali merenungi kehidupan. Hingga cahaya itu datang dari kalian berdua, membersamai hari-hari yang begitu hening penuh ketenangan. Sayangnya, kini salah satu cahaya itu redup. Padahal, masih banyak tema diskusi yang belum tersampaikan olehku untukmu, Ky.

Sekarang aku hanya tinggal menunggu permintaan dari Fadlan seorang. Padahal, kalian berdualah yang dulu selalu memintaku dengan berkata, “Ayo, Bang Ramzy, kultum dulu! Ayo, kita bahas sesuatu!” Ucapan itu seakan menjadi rasa sayang dan kerinduan yang membasahi wajahku di malam-malam yang hampa—sarat akan keniscayaan. Sebab, begitulah hidup, takdir adalah keniscayaan dan manusia mana pun tidaklah mampu melawan takdir dari Sang Pencipta Kehidupan.

Mungkin, masih teringatlah kita pada satu pembicaraan kita bertiga dengan Fadlan. Kukatakan bahwa untuk mempermudah penjelasanku yang mendalam dan penting, haruslah menggunakan papan tulis, bukan hanya secarik kertas saja. Niat kita bertiga itu seakan membekas, namun tak mampu terbayarkan untukmu, Ky. Apa jadinya diskusi malam yang kalian sebut dengan kultum itu bilamana hanya Fadlan saja yang mendengarkannya sendiri?

Teringatlah aku dengan malam-malam yang menyenangkan kala itu. Aku hanya menyajikan pembahasan-pembahasan dasar dari apa yang telah aku ketahui, di antaranya: marxisme, akumulasi kapital, hegemoni Gramsci, fungsionalisme strukturali Kuntowijoyo, NASAKOM Sukarno, hingga yang terakhir menanyakan soal tulisan Indoprogress mengenai hijab di mata Eropa, atau secara ilmiahnya disebut dengan pengaruh Orientalisme terhadap dunia Timur—yang kebetulan tidak mampu dijelaskan mendalam di pra-kelas DinamikA saat itu. Hingga, kau menyatakan pendapat yang membuatku bahagia dan mengkerutkan dahi keheranan. Katamu, “Kalau belajar yang begini-begini, lebih enak belajar sama Bang Ramzy aja, daripada sama mas Fatah di pra-kelas.”

Menulis ini seperti merajut kembali rasa sedih yang telah lama menghilang. Kini kembali lagi memerahkan mataku di tengah mata kiriku tengah merasakan pedih pula. Semuanya pecah berserakan cinta, Ky.

Saat dirimu merintih kesakitan di RSUD Salatiga, terpukullah aku dengan kondisimu yang malang. Bahkan, aku tak mampu berkata lebih banyak dari biasanya. Tiga hari sejak Sabtu, 13 Januari, hingga Senin, 15 Januari, seakan berjalan sangat pelan, Ky. Ntahlah, mengapa seperti itu rasanya. Pada tiga hari yang terlalu lama itu, tidak ada habis-habisnya aku berdoa atas keselamatanmu. Firasat tidak baikku terus bergejolak, namun bersusah payah aku menyelamatkan diri dari tenggelamnya aku pada firasat yang tidak baik itu, dengan doa-doa penuh harapku kepada-Nya.

Teringatlah kembali aku pada permintaan di hari terakhirmu, Ky. Tepatnya di hari Senin, 15 Januari, saat pagi-pagi sekali. Permintaanmu sangatlah sederhana: dirimu mencari-cari aku dengan berucap, “Mas Ramzy di mana? Aku mau ketemu Mas Ramzy.” Hingga yang menjagamu di RSUD Salatiga meneleponku dan memintaku datang saat itu juga. Terima kasih, Ky. Pada keadaan terpuruknya dirimu pun, kau masih mengingat orang-orang yang pernah berbaik hati kepadamu.

Pada momen terakhirmu, saat pihak RSUD Salatiga tidak tanggap dengan kondisimu, aku teringat permintaanmu di ruang inap yang tengah kau tempati, Ky. Dirimu ingin melihat sinar matahari. Dirimu ingin berjalan-jalan kembali dengan kondisi kaki kirimu yang sudah tidak baik seperti awalnya. Dengan menggunakan kursi roda rumah sakit itu, kudoronglah kursi roda tempatmu berduduk untuk melihat cahaya matahari yang menembus ventilasi-ventilasi ruang itu, Ky. Aku menyadari pula, bahwa itu adalah setitik harapanmu untuk kembali sehat, kan, Ky?

Pada hari terakhirmu, aku ingin sekali berminta maaf kepadamu, Ky. Sebab, aku tidak terlalu lama menemanimu di hari itu. Aku bersama Parid harus kembali pulang ketika jam akan menunjukkan pukul 12 siang. Kita berdua pulang karena menyadari bahwa telah banyak pula yang menjagamu di saat itu, dari teman-teman Mapala Mitapasa. Tentu tak lupa pula, rasa terima kasih yang sebanyak-banyak kepada kalian, para sejawat Mapala Mitapasa. Kalian telah bertanggung jawab atas Rizky. Lagi dan lagi, terima kasih untuk kalian kuucapkan.

Sesampainya aku di kost pada waktu itu, tidak ada habis-habisnya aku berpikir positif dari kondisi kakimu yang semakin parah, ketidakmampuanmu untuk tidur lebih tenang, penanganan RSUD Salatiga yang tidak tanggap, sedikit mengisi perut dengan makanan-makanan yang berjejer dari banyaknya kawan yang berempati kepadamu, Ky. Bahkan, aku teringat pula, terakhir itu kau hanya memakan jeruk. Kebetulan, aku yang memberikannya kepadamu waktu itu, Ky.

Sekali lagi, waktu pada hari terakhirmu seakan berjalan sangat lamban. Ketika aku terbangun dari tidurku di kost hari itu, pada jam yang tepat menunjukkan angka 4 sore. Kuingin sekali menenangkan pikiran dan keluar dari kost untuk sekadar mencari ketenangan dengan segelas kopi hangat di sepanjang jalan Monginsidi. Sesampainya di sana, tersadarlah aku, bahwa selama dirimu sakit, aku selalu menanyakan kabar dan kondisimu ke sejawat Mapala Mitapasa yang setia menemanimu. Pada jarum jam yang telah sampai pada pukul 5 sore, barulah aku mendapatkan kabar duka kepergianmu, Ky. Banyak ketidaksangkaanku atas takdirmu itu, Ky.

Sejujurnya, kami–para penulis Obituari kepergianmu, menangis tersedu-sedu ketika berada di depan ruang jenazahmu, Ky. Maafkanlah kami yang sempat mempertanyakan Sang Kuasa atas sebuah takdir dan keniscayaan ini.

Akhir dariku secara khusus, aku berharap dirimu mendekap kepada Allah dan mendapatkan ketenangan yang tiada dua. Bersemi dan bermekaran dengan indah, Ky. Aamiin

Perayaan kehilangan

(Laily Atiqoh)

Teruntuk, sentuh terakhir sebelum semuanya benar-benar selesai.
Sentuh terakhir sebelum aku kehilanganmu.
Bahkan, kita belum sempat mencoret daftar panjang keinginan itu.
Harusnya, kamu menetap lebih lama.

Sekuat apa pun aku merengek, pada akhirnya keinginan Tuhan tidak pernah terbantah.
Semuanya tiba-tiba dan aku bahkan tidak bersiap apa-apa.
Meski sebenarnya aku tidak pernah siap.

Maaf, harusnya aku membuatmu mencoret keinginan itu lebih cepat.
Maaf, tidak banyak waktu untuk sekedar mendengarmu.
Selamat berpulang, turut serta aku dalam perayaan kehilanganmu.
Dari aku yang begitu bangga pada setiap perjalanan yang kamu tempuh.

Maha Tuan memang lebih ingin kau tenang dibanding mendengar ocehanku.
Jadi, dia memintamu berpulang lebih dulu ketimbang aku.
Lalu pada detik pertama setelah itu, aku nyaris tercekik mati karena rasa bersalahku.
Tidak lagi aku mampu beraksara, bahkan untuk sekedar kata terima kasih sudah ada.
Tidak lagi aku mampu mendengar tawa, ingatanku sudah mulai kabur mendengar suaranya.

Sudah cukup! Sudah cukup sesalku limpahkan dan tak mau lagi aku kehilangan.
Rasanya seperti begitu tidak adil.
Habis diriku untuk memaki dan mengerutuki diri sendiri.
Lalu aku berusaha dengan tangis yang masih tersisa.
Berdoa atas berpulangnya kamu pada batin paling aman yang Tuhan ciptakan.

Teruntuk: kawan-kawanku yang berpulang lebih dahulu,

Alm. Rizky Halvino Rahman
Alm. Muhammad Irfan Maulana
Almh. Rahma Tazkia Azzahra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *