Krisis Iklim: Masa Depan Bumi Usaha Kita Semua?

Sumber foto: Suara.com
Oleh: Ahmad Ramzy

Lingkungan yang baik adalah lingkungan yang mampu memberikan ketenteraman serta memiliki efek positif bagi penghuninya. Tentu hal ini sangat berkaitan dengan Hak Asasi Manusia yang harus dijunjung tinggi, dan bukan hanya semata-mata hal kecil saja. Krisis Iklim? Masa depan kita akan lebih berat dengan adanya ancaman krisis iklim pada bumi, terutama di negeri kita, yakni Indonesia. Krisis iklim yang akan kita hadapi ini meliputi kekeringan akibat pemanasan global, banjir dengan debit tidak menentu, polusi udara, dan sebagainya.

Permasalahan di Indonesia yang sering mencuat adalah deforestasi atau penebangan hutan, terutama penebangan secara ilegal dengan dalih pembangunan ekonomi negara dan untuk kesejahteraan rakyatnya. Bahkan penebangan tersebut berskala besar, namun tanpa diiringi adanya perencanaan untuk penanaman hutan kembali atau reboisasi. Menarik pernyataan dari Menteri LHK (Lingkungan Hidup dan Kehutanan) Republik Indonesia, Siti Nurbaya Bakar, mengenai dihentikannya pembangunan atas nama zero deforestation, tindakan deforestasi sama dengan melawan mandat UUD 1945, serta tidak mengutamakan kesejahteraan rakyat dari segi pembangunan jalan yang terputus di kawasan terpencil serta hutan. Sayangnya, permasalahan tentang deforestasi tidak hanya mengenai pembangunan jalan untuk akses perjalanan di tempat terpencil. Namun kenyataan deforestasi, pasti berkaitan erat dengan Hak Guna Usaha (HGU) secara ilegal yang bertujuan untuk penanaman pohon sawit. Padahal, dengan seringnya pelaksanaan deforestasi akan menghasilkan emisi karbondioksida dan memicu gas rumah kaca.

Hal ini diperparah apabila lahan dibuka dengan cara membakar hutan. Pemerintah sama saja seperti memfasilitasi investor dalam berbinis sawit, yang digunakan untuk keuntungan semata tanpa melihat risikonya. Tidak hanya itu, menebang hutan membuat hewan akan mudah sekali untuk diburu oleh pemburu gelap yang diakibatkan karena terbukanya lahan perhutanan tersebut. Bahkan dengan adanya deforestasi yang tidak sesuai dengan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) dapat menyebabkan polusi pada air yang juga akan merugikan warga di sekitar tempat tersebut.

Seharusnya pemerintah memiliki tanggung jawab dalam menganalisis lingkungan, bukan hanya mengatasnamakan kesejahteraan. Tujuan pemerintah untuk mengupayakan zero emission atau nol emisi, bertujuan untuk menanggulangi pencemaran terhadap lingkungan akibat kandungan gas mesin yang dibuang ke udara sepertinya akan sangat lama terwujud. Jika pemerintah mau bersama-sama mewujudkannya, tentu pemerintah harus menarik rakyatnya secara baik-baik tanpa menimbulkan sebuah konflik agraria, terutama bekerja sama dengan para ahli yang independen dalam menganalisis dampak lingkungan. Namun jika pemerintah hanya mengatasnamakan kesejahteraan tanpa melihat dampak ke depan, maka sudah dipastikan hal tersebut tidak berdasarkan untuk kesejahteraan rakyat.

Konflik yang sering terjadi antara pemerintah dan masyarakat adalah konflik agraria. Kurangnya tanggung jawab pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur. Semestinya peran pemerintah adalah meminimalisir adanya sebuah konflik. Konflik ini sering terjadi di lingkungan masyarakat terpencil. Kepedulian kita terhadap hal tersebut bisa kita tunjukkan untuk membantu mereka yang merasa dirugikan. Namun, kehidupan masyarakat di kota sangat berbeda. Terkadang kita sama sekali tidak menunjukkan kepedulian kita dalam menjaga lingkungan dan cenderung biasa-biasa saja apabila melakukan kesalahan. Ketika kita enggan untuk peduli terhadap lingkungan di sekitar kita, maka sudah dipastikan kita juga tidak peduli dengan mereka yang terkena dampak dari pembangunan. Masyarakat di kota pun sering berorasi seakan peduli dalam pencegahan krisis iklim. Padahal masyarakat di kotalah yang justru sering menimbulkan efek tidak baik untuk lingkungan. Apakah dengan berorasi tanpa mendatangi mereka yang terdampak konflik agraria dapat dikatakan peduli?

Jadi, apakah permasalahan ini menjadi tanggung jawab pemerintah untuk membuat peraturan yang lebih ketat dan terstruktur lagi?, atau kepedulian kita yang sama sekali tidak ada? Permasalahan di Indonesia dirasakan juga oleh negara berkembang lain yang sedang mengutamakan infrastruktur dalam mewujudkan kemajuan pada negara tersebut. Meskipun begitu, peran pemerintah sangat besar dalam menegakkan hukum yang berlaku dan termaktub di dalam UU No. 32 Tahun 2009 pasal 1 ayat (2) tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), yaitu upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup, dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.

Peran kita sebagai masyarakat tentu sangat krusial juga. Krisis iklim tidak melulu diakibatkan oleh mereka yang memiliki kuasa, namun kita sebagai masyarakat juga punya peran dalam menjaga bumi ini tetap stabil. Permasalahan yang dihadapi bukan hanya deforestasi saja, tapi hal lain juga. Permasalahan yang sering kita lakukan adalah membuang sampah sembarangan. Perilaku kurang peduli ini, tentu mengakibatkan pencemaran terhadap air yang juga membuat kerusakan pada ekosistem laut. Tidak hanya itu, penggunaan barang yang tidak ramah lingkungan pastinya akan membuat pencemaran terhadap lingkungan. Contohnya seperti penggunaan tas belanja plastik, daripada tas belanja kertas. Padahal tas belanja plastik akan sulit sekali didaur ulang dan akan menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan. Gundukan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dan Tempat Pembuangan Sampah (TPS) juga memberikan pencemaran terhadap udara, air, dan tanah. Gundukan sampah ini seiring berjalannya waktu akan terus bertambah, dikarenakan sampah pada rumah tangga yang selalu banyak dan tidak mampu dikontrol dengan baik oleh kita.

2 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *