H-100 Go to Myanmar (Menari, Halalkah Itu?- Part II)

sumber: senitaribaliku.blogspot.com
sumber: senitaribaliku.blogspot.com

Baca juga H-100 Go to Myanmar (Menari, Halalkah Itu?- Part I)

Menari, Halalkah Itu?- Part II

Prosesi menari masih kubawa sampai aku duduk di MA, bagian dari sebuah yayasan pesantren. Ya, kami waktu itu menari. Tak hanya menari, menyanyipun iya. Namun, lagunya masih dibatasi dengan lagu religi, kostum cantik nan Islami, dan gerak-gerik yang minimalis. Aku masih setuju dengan konsep menari yang satu ini.

Maka tibalah aku pada hakikat menari yang sesungguhnya! Membawakan tarian tradisional yang gemulai dan penuh aturan. Belum lagi kostum serta make-up yang membuatku semakin menawan. Eh?

Terlepas dari dalil naqli yang mengupas tentang tindak-tanduk wanita sholihah dalam bertingkah, adalah realistis jika wanita tidak baik jika menjadi aktivis secara berlebihan. Kodrat wanita yang santun dan mengayomi membuat persoalan menari menjadi hal yang selalu ingin diusik. Sekali lagi ini hanya argumenku, pola pikirku.

Di satu sisi, aku belajar bahwa menari itu tak sekadar pamer keindahan gerak tubuh. Sungguh budaya Jawa sangat kaya akan filosofi. Begitu banyak hal-hal remeh-temeh yang itu sangat bermakna dan membuat kita ternganga.

Dalam menari, otak, otot, dan seluruh gen dalam tubuh berkonsentrasi penuh. Gerakan-gerakan luwes nan apik menyemai semangat yang sedang tumbuh. Kelenturan tubuh tidak akan kau dapatkan dengan mengeluh. Menari membuat kami bersungguh-sungguh, memperjuangkan hati seorang wanita Jawa yang teduh.

Selain itu, tari tradisional tentu membawakan pesan tersendiri bagi penikmatnya. Tentang budaya, etika, maupun estetika. Entahlah, aku bukan calon sarjana tari dan jangan harap aku akan menceritakan detailnya! Sejauh ini tari tradisional juga tidak disalahgunakan sebagai objek bid’ah sayyi’ah. Kalaupun ada, aku pasti sedang tak hidup di dunia. Iya kan?

Kedua sisi tadilah yang membuatku mempunyai konflik batin dalam menari sejak MTs. Teguran guruku, dan sejumlah argumen yang semua seolah berebut kebenaran. Disinilah rasanya aku harus mencomot salah satu kaidah fiqhiyah yang pernah kupelajari jaman MA dulu “Innamal a’malu bin niyyati”. Segala sesuatu based on niat kita.

Kalau menari diniatkan untuk pamer aura dan aurat, kukira malaikat Raqib dan Atid akan terlebih dahulu mengabadikannya. Bijak, bukan? Bercanda! itu hanya pencitraan.

(D1418/Red_)

2 Komentar

  1. masjhon Balas

    jika setiap perkara selesai dengan “Innamal a’malu bin niyyati”.. maka saya kira hukum hukum fiqih tak lagi berguna.. ngapunten.

    • D1418 Balas

      Terima kasih atas perhatiannya. Saya kira segala sesuatu yang tercipta pasti ada manfaatnya. Utk masing2 kaidah tentu memiliki Porsi tersendiri. Kalau menurut anda bagaimana ?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *