Aspirasiku Terbentur Undang-Undang

Opini Mahasiswa

Oleh : Tedisyah Agung Maulana

Di area politik praktis, kampus adalah miniatur dalam sebuah tatanan negara. Jika negara memiliki masyarakat dan menganut sistem trias politika dimana komponennya terdiri dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif, maka kampus memiliki Dewan Mahasisiswa (Dema) sebagai badan eksekutif, dan Senat Mahasiswa (Sema) sebagai badan legislatif sekaligus yudikatif.
Kampus juga mengenal sistem demokrasi yang diwujudkan dalam pemilihan pemimpin ataupun wakil dari masyarakatnya yang kemudian akan mengisi jabatan politik. Adapun jabatan politik yang terdapat dalam kampus, antara lain: Ketua Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS), Dema & Sema di tingkat Fakultas dan Institut. Semua jabatan tersebut diperebutkan dalam kontestasi demokrasi yang biasa disebut dengan Pemilu Raya (Pemira) dan kandidat diusung oleh partai politik.

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga saat ini sedang melangsungkan Pemira. Biasanya dalam setiap tahun dinamika pesta demokarasi yang ada di dalam Pemira selalu berubah dan dinamis. Begitupun pada tahun ini yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
Pemira tahun 2019 ini kandidat yang maju adalah tuggal alias tidak mempunyai lawan, baik itu di tingkat Institut (pusat), Fakultas, dan beberapa progam studi. Hal ini disebabkan dari produk Undang-Undang yang dibuat oleh Senat mahasiswa (Sema).

Fenomena ini tidak akan menjadi sebuah persoalan jika memang tidak adanya kandidat lain. Akan tetapi dalam persoalan ini para kandidat tadi sebetulnya bukan tidak memiliki lawan, namun lawan-lawannya ‘digugurkan’ oleh UU nomor 4 pasal 9 ayat 10 yang telah dibuat oleh Sema yang berisi tentang aturan pengusungan calon Dema, dimana partai yang boleh mengusung calon dema haruslah partai yang mendapatkan suara lebih dari 30% suara di lingkup institut pada tahun sebelumnya.
Sebenarnya peraturan ini secara tidak langsung akan merubah sistem Pemira yang ada di IAIN Salatiga. Semula demokrasi akan berubah menjadi dinasti. Mengapa? Karena sudah sangat jelas partai yang saat ini menang tentu kursinya akan diisi oleh orang-orang dari partainya terlebih dahulu. Tidak menutup kemungkinan semua kursi dilimpahkan ke partainya. Pemberian kursi ini yang mengindikasi partai lain tidak bisa mengusung calonnya pada Pemira tahun selanjutnya. Partai lain tidak mungkin bisa mengusung calon kandidatnya karena tidak memenuhi syarat yang tercantum di dalam undang-undang.

Tahun-tahun selanjutnya sudah dipastikan hanya ada calon tunggal. Kejadian ini lah yang membuat proses Pemira yang awalnya demokrasi akan berubah menjadi sistem dinasti.
Perubahan undang-undang ini wajib dilakukan supaya esensi demokrasi dalam Pemira bisa dirasakan semua mahasiswa. Jika tidak dilakukan, maka Pemira bisa jadi hanya digunakan sebagai alat untuk suatu kelompok berkuasa. Atau jika undang-undang tetap ingin dipertahankan dengan berbagai alasan, tentu pilihannya hanya satu, yakni ketua terpilih ‘mengharamkan dirinya melimpahkan kursi kepada partainya saja, namun wajib membagikan kursi tersebut dengan rata kesemua partai’. Ketika kedua jalan itu tidak ditempuh, maka bisa dikatakan demokrasi sudah mati. (red)

5 Komentar

  1. TanpaNama Balas

    Belajarlah politik dengan baik tidak dengan politik praktis. Halangi peraturan” yang mencidrai demokrasi yang tidak independent agar kelak ketika memimpin negara tidak menjadi politik prsktis. Bukanya indah jika banyak perbedaan dalam kursi. Bungan cuman 1 kelompok saja,.

  2. Achmad Balas

    boleh-boleh saja kalian mengakali partai yang mau mengusung calon dengan undang-undang yang dibuat tapi cobalah berfikir kembali bahwasannya di dalam sebuah tatanan itu harus plural agar sistem politik dikampus kita tidak terkesan hanya 1 ya mereka pemilik kekuasaan. Minim penghetahuan juga dari kita bahkan saya sendiri mengenai politik kampus.

  3. Nadya Balas

    Hhh lucu … Bukan politik demokrasi tapi politik ketkutan. Makanya dikasihlah 30% ambang batas. Lalu dmna letak Chek and ballance

  4. Muhammad Balas

    Tidak seharusnya peraturan dibuat seperti itu, menjegal lawan dengan halus tapi terlihat gamblang, padahal sama-sama bertujuan baik, tapi tidak kompak, yaa memang politik itu siasat, tapi klo ada siasat yang baik kenapa tidak.

    JANGAN SALAHKAN SIAPAPUN JIKA INDONESIA MASIH BURUK DEMOKRASINYA KALAU MAHASISWA MASIH SEPERTI INI …..
    CAMKAN ITU

  5. Muhammad Balas

    Ingat apa yang KALIAN LAKUKAN yang namanya KARMA itu ada….
    Jangan sampai kau GUNAKAN JABATAN-JABATAN apalagi hanya ORMAWA untuk semena-mena, hanya kudoakan semoga cepat SADAR

    Good dinamika lanjutkan berita-berita agar mahasiswa umum tahuuu
    Bravo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *