23 Tahun Tragedi Semanggi dan Usaha Penegakkanmu Kini

Sumber foto: Kompasdata.id

Oleh : Ahmad Ramzy

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hal yang sangat fundamental dan bersifat universal di dalam kehidupan kita tanpa memandang suatu bangsa, warna kulit, ras/etnis, kelamin maupun agama. HAM mencakup hak sipil dan politik, hak untuk hidup, hak berekspresi/memberikan pendapat, hak dalam beragama, hak dalam menuntut pendidikan, hak dalam bekerja, hak yang sama dimata hukum, dan sebagainya. Hak asasi manusia tidak dapat dicabut dan tidak boleh dimiliki oleh orang lain dengan paksa karena kita sendiri tentu sudah memiliki hak asasi manusia secara masing-masing. Adanya peraturan mengenai hak asasi manusia ini betujuan untuk memberikan kesadaran kita dalam menghargai serta berusaha menegakkan hak asasi manusia yang belum adanya tindakan yang lebih lanjut dalam menuntaskannya.

Penegakkan kasus Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu di Indonesia saat ini masih tidak tersorot dengan baik oleh pemerintah. Bahkan, pemerintah cenderung abai dengan tangisan dan duka cita yang dirasakan oleh para keluarga korban atas penyelewengan hak asasi manusia masa lalu ini, atau lebih tepatnya di era orde baru kepresidenan Jendral Soeharto. Penegakkan kasus hak asasi manusia berjalan dengan alot dan pemerintah sendiri hanya mendapatkan rapor merah dari publik karena sikap ketidakacuhan pemerintah dalam menanganinya. Janji-janji yang ditebarkan kepada publik nyatanya hanya menjadi sebuah omong kosong belaka tanpa adanya tindakan yang nyata. Apakah hak asasi manusia pada hari ini sudah ditegakkan dengan baik? Apakah cita-cita reformasi sudah diwujudkan?

Dari sekian banyaknya kasus penyelewengan hak asasi manusia di Indonesia, tentu kita tidak akan melupakan kelamnya Tragedi Semanggi 1 dan 2 di Jakarta, yang masing-masing terjadi pada tanggal 11-13 November 1998 (Semanggi 1) dan 24 September 1999 (Semanggi 2). Kurang lebih sudah 23 tahun kita lewati hari-hari dengan seksama tanpa ada penyelesaian perkara yang mampu memunculkan titik terang untuk para keluarga korban serta mereka yang harus menerima pil pahit menjadi korban atas ganasnya kekuasaan pemerintahan era orde baru saat itu. Dipenjara atau terbunuh adalah pilihan yang tidak akan bisa mereka tolak sama sekali. Jika dihitung secara total banyaknya korban kurang lebih mencapai 28 warga sipil beserta mahasiswa yang tewas dan 217 orang luka-luka.

Salah satu ibu korban dari Tragedi Semanggi 1 yaitu Maria Catarina Sumarsih atau biasa dikenal dengan ibu Sumarsih yang merupakan ibu dari Bernardinus Realino Norma Irawan atau biasa dikenal dengan Wawan, sampai saat ini selalu menggemakan suara lantangnya atas sikap ketidakacuhan pemerintah dalam menyikapi penyelewengan hak asasi manusia terhadap anaknya, dan juga para keluarga korban lain demi sanak keluarga mereka yang juga harus menjadi korban ditragedi itu.

Wawan sendiri adalah seorang mahasiswa dari Universitas Atma Jaya Jakarta yang pada saat itu harus terkena letusan peluru senjata api milik aparat. Kesedihan yang diderita oleh ibu Sumarsih tidak terlalu ia pikirkan berlarut-larut karena ia menyadari bahwa menyuarakan ketidakadilan lebih penting daripada diam dan menangisi anaknya sendiri. Selalu bersikap tegar dan senantiasa menuntut sebuah keadilan, ibu Sumarsih dengan suaminya tetap berdiri layaknya pohon oak yang tidak akan patah walau dihempas oleh angin. Ibu Sumarsih seorang Presidium Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) selalu menggelar aksi kamisan dengan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindakan Kekerasan (KontraS) dan kawan-kawan solidaritas lain, tentu bertujuan untuk menuntut kesadaran pemerintah dalam menyikapi hak asasi manusia yang selalu diabaikan.

Sayangnya, aksi kamisan sendiri sampai saat ini sudah mencapai kurang lebih 700 kali aksi dan sama sekali tidak ada hasil yang didapatkan dan pemerintah tetap tuli tidak mendengar permasalahan yang disuarakan mengenai hak asasi manusia. Simpang siur ini masih merajalela dalam pikiran masyarakat yang sangat berharap lebih dengan kebijakan presiden dalam menyikapi dan berusaha menangani kasus-kasus penyelewengan hak asasi manusia. Namun, tetap saja tidak ada artinya sama sekali. Apakah permasalahan ini akan dibiarkan sampai kadaluarsa? Padahal, aksi kamisan adalah aksi biasa yang anti terhadap tindakan kerusuhan. Kawan-kawan solidaritas yang ikut dalam aksi kamisan lebih mengutamakan konsolidasi serta mengajak mereka untuk tergabung dalam menyuarakan ketidakadilan hak asasi manusia, tanpa memprovokasi massa untuk melakukan kerusuhan.

Seharusnya, pemerintah mampu menyelesaikan satu persatu kasus penyelewengan HAM ini, karena sudah kewajiban pemerintah melaksanakan tugas dengan baik dan bersikap tegas kepada pelaku yang tidak lain dan tidak bukan di era masa kepresidenan Ir. Joko Widodo adalah tokoh yang mengisi singgasana pemerintahan juga. Entah apa yang telah mereka perbuat untuk negeri ini? Kewajiban mereka hanyalah maju ke pengadilan dan mengungkapkan perilaku mereka pada khalayak. Sejatinya, masyarakat yang mengetahui sikap para pelaku yang sekarang duduk di pemerintahan sama sekali tidak merasa simpatik kepada mereka, tentu karena masyarakat tahu bahwa perilaku mereka tidak patut dibenarkan dan tidak sepatutnya juga diberikan hak untuk berpolitik.

Akankah pergantian presiden selanjutnya masalah ini bisa diselesaikan dengan baik? Atau akan sama saja seperti presiden sebelumnya? Masalah ini bagi pemerintah seperti beban yang sangat sulit sekali mereka angkat, dan masalah ini sendiri dianggap riskan karena bukti-bukti yang konkrit masih selalu ditutup-tutupi. Terutama di masa pandemi yang melanda saat ini pemerintah selalu berdalih mengenai protokol kesehatan dan hal inilah yang membuat aksi kamisan sering mengadakan aksi secara daring live streaming di Instagram @aksikamisan. Tidak hanya daring saja kegiatan dari aksi kamisan, namun adapun kegiatan tersebut dilaksanakan secara luring atau langsung ke depan istana negara menyesuaikan protokol kesehatan.

Apakah peran UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2000 mampu menyelesaikan masalah penyelewengan hak asasi manusia? Apakah pemerintah menyadari isi dari Undang-Undang tersebut? Mengapa permasalahan yang sudah berkaitan dengan Undang-Undang masih tetap sulit untuk diselesaikan? Apakah kita kekurangan sesosok penegak hukum yang adil? Apakah janji presiden hanya akan jadi omong kosong belaka? Mampukah kita sebagai masyarakat mengatasi masalah ini dengan sendiri? Tentu tidak akan mampu. Penegakkan hukum adalah kunci utama dalam menyelesaikan masalah ini. Perlu berapa banyak sosok ibu Sumarsih di negeri ini? Perlu berapa banyak korban lagi yang harus dikorbankan secara tidak adil? Kompleks sekali, selamanya kita akan menunggu sambil menyuarakan ketidakadilan ini. Semoga penyelewengan hak asasi manusia ini tidak dianggap kadaluarsa, karena ucapan itu hanyalah omong kosong yang disengaja. Sebagai pemuda-pemudi bangsa ini kita harus menyadari permasalahan ini, karena kitalah yang akan memimpin negeri ini dan mengemban tugas yang berat dalam menyikapi permasalahan yang belum ada titik terang sama sekali.

Hidup Korban!! Jangan Diam!! Lawan!!

2 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *