Sampai Menutup Mata

Doc. Mahendra
Doc. Mahendra

 

Sampai Menutup Mata

Oleh : Fadlan Ash-shidiq

Negeri yang terindah sepanjang masa adalah negeriku. Sebuah negeri strategis yang diapit dua benua dan dua samudera yang menyimpan kekayaan alam yang melimpah. Seringkali dipuja-puja negara tetangga dan menjadi rayuan pulau kelapa.

Namun hal ini kian luntur. Kekayaan tak lagi menjadi kebanggan bagi penduduknyasendiri. Mereka terbuai oleh negeri lain dan seolah lupa dengan kekayaan sendiri. Mereka lebih bangga berpose di Eropa daripada di Indonesia padahalmereka punya Jembatan Ampera di Pulau Sumatera, Kepulauan Derawan di Kalimantan, Candi Borobudur di Pulau Jawa, dan masih banyak lagi. Tren gaya wisata sudah beralih dan tersingkirkan grade-nya dengan luar negeri.Produk lokal pun sudah tak ada nilai kebanggaan bagi mereka. Entahlah apa yang ada di pikirannya.

—0—

“Mau pergike mana Nak?”

“Aku mau mainsama teman-teman.”

“Sore hari harus sudah di rumah loh Nak.”

“Iya Bu.”

Tak lama menunggu, Bani, Adun, dan Sali menghampirinya seperti sudah ada janjian sebelumnya. Mereka bersepakat untuk bermain petak umpet. Ada yang bersembunyi di balik pohon besar, atas pohon, dan tiarap di antara semak belukar. Begitu riangnya mereka bermain. Satu per satu menjadi penjaga markas, dan yang lainnya bersembunyi.

Setelah tampak lelah bermain, mereka berkumpul untuk istirahat sejenak dilanjut mencari buah-buahan di sekitar hutan. Setelah terkumpul, mereka duduk bercengkrama sambil memakan buah-buahan yang didapatnya. Ada pukih, kelengkeng, dan kedongdong. Semua itu didapat dari hutan liar yang tidak terurus namun selalu tumbuh dan masyarakat sekitar banyak memanfaatkannya. Ada yang memetik buahnya untuk dikonsumsi, dahannya untuk digunakan kayu bayar, dan getahnya untuk dijadikan karet. Namun di sisi lain, ada satu hal yang menjadi penting. Warga sekitar sangat bersahabat dengan alam. Tidak ada satu sampah pun tergeletakatau pohon yang tak ditanam kembali setelah ditebang. Tak ada tempelan-tempelan peringatan ataupun warning di sepanjang hutan, namun tindakan merugikan bagi alam sudah menjadi pelangggaran terhadap norma sosial yang ada.

Matahari masih terik. Mereka melanjutkan perjalanan menuju sungai yang tak jauh dari hutan. Untuk mengenyangkan perut, Rama dan teman-temannya cukup mencari ranting pohon dan tali kemudian mengailkan cacing tanah lalu mencemplungkannya ke sungai. Tak menunggu lama, seekor ikan akan nyangkut. Kadang kala ia mendapat ikan gabus, sapu atau nila. Kemudian mereka membakarnya di atas bara api kayu bakar.

Mereka pulang menyusuriindahnya panorama pesawahan. Tak lengkap rasanya jika belum memburu belut di tepi sawah. Hanya diumpani cacing, belut langsung melahapnya dan terperangkap pada kail. Hasil tangkapannya dibawa pulang untuk dimasak ibu di rumah. Mereka menepi terlebih dahulu di sebuah gubuk kemudian melanjutkan perjalanan pulang.

Setibanya di rumah, Rama disuguhi kelapa muda oleh ibunya yang dipetik ayahnya dari pohon depan rumah.

“Bu, tumben memetik kelapa muda banyak-banyak.”

“Tadi ada tamu dari kota, Nak. Dia ingin bertemu ayahmu.”

“Siapa bu?”

—0—

Suatu hariketika perjalananpulang dari sekolah, Rama melihat tiga orang pria berkemeja dan berdasi di depan rumahnya. Salah satu di antara mereka berwajah seperti orang Bule. Selama ayahnya menjabat jadi kepala desa, ia tak pernah melihat tamu seasing itu. Rama menahan tubuhnya di balik pohon untuk mengintipmereka yang sedang bercengkerama ringan bersama ayahnya.

Bla, bla, bla… Rama tidak memahami apa yang mereka bincangkan. Tiga pria itu lewat di hadapannya. Hampir saja mereka menjumpai Rama yang menyelinap di balik pohon. Setelah mereka benar-benar pergi dengan mobil mewahnya yang terparkir di tepi jalan, ia masuk rumah.

Seusai mengucapkan salam dan mencium tangan ayah, Rama lantas bertanya.

“Siapa tamu yang tadi yah?”

“Oh, itu utusan dari pemerintahan.”

Pemerintahan? Rama tidak meyakininya. Tiga pria tadi tidak berseragam dinas. Ketika sudah menginjak remaja, Rama selalu bertindak kritis terhadap suatu apapun.

“Tidak mungkin ayah. Mereka berpakaian rapi dan mewah. Tidak ada identitas kepemerintahanannya.”

“Sudahlah Nak, yang jelas itu teman ayah.”

Rama tidak puas dengan jawaban ayahnya.

“Makan dulu Nak.” Ibunya mengingatkan untuk makan.Kemudian Rama menuju meja makan.

“Yah, setelah makan, Rama mau ke rumahnya Adun untuk mengerjakan tugas.”

“Iya, silakan. Makanannya habiskan dulu.”

Setelah lekas, Rama mengayuh sepedanya ke tempat yang dituju. Di tengah perjalanan, ia menjumpai sebuah mobil yang sama persis dengan apa yang dikendarai pria berkemeja tadi. Mobil itu terparkir di dekat pesawahan. Ia memperhatikan gerak-geriknya yang mencurigakan. Rama mengintip mereka dibalik pohon dan memandangnya lekat-lekat. Kemudian ia mempercepat laju sepedanya menuju rumah Adun. Sali dan Bani yang sudah berkumpul di rumah Adun sejak tadi.

“Kenapa kamu ngos-ngosan?” tanya Adun.

“Ini minum dulu.”Bani menyodorkan segelas air putih.

Setelah meminumnya beberapa tegukan, Rama angkat bicara.

“Tadi, di sana….. “

“Ada apa?” Sali penasaran.

“Tiga orang pemuda berkemeja sedang berkumpul. Aku lihat dengan mata kepala sendiri.”

“Itu sih sudah biasa. Jangankan tiga orang. Berpuluh-puluh orang pun banyak.” Tebak Adun.

“Tapi ini beda Dun. Tiga orang itu berkomplot untuk merencanakan sesuatu.”

“Sesuatu apa?”

“Ayo ikut aku.”

Rama mengajak mereka ke suatu tempat yang tadi ia lewat. Setibanya di sana, mereka menyusun barisan. Mereka mengintip di balik pohon yang berbeda. Seorang pria berkemeja berdiri menunjuk ini dan itu. Mukanya tampak mantap sekali. Pria yang lain membuka sebuah lembaran yang Rama kira adalah sebuah denah. Rama menarik tangan teman-temannya mengajak mereka ke tepian.

“Kalian lihat sendiri kan?”

Mereka mengangguk.

“Kita tidak boleh diam. Harus kita laporkan ke kepala desa.”

“Kan ayahmu sendiri.” Jawab Sali.

“O iya. Ayo kita ke rumahku.”

Baru tiga langkah menuju pulang, Rama mengurungkannya.

“Tunggu. Jangan ke rumahku.”

“Kenapa?”

“Kita ke rumahnya pak camat saja. Aku tak yakin kalau ayahku akan menjawabnya dengan jujur.”

Pak camattampak sedang memberi makan burung merpati di depan rumahnya.

“Ada keperluan apa kamu ke sini?.”

Rama menjelaskan hasil penyelidikannya dengan jelas dan rinci.

“Lantas, apa yang kamu minta dari saya?”

“Bisakah bapak menghentikan tingkah tiga orang pria itu?”

“Sebentar Nak, jangan terburu-buru dalam bertindak. Butuh pendekatan sosialis untuk memecahkannya.”

“Apa itu pak camat? Makanan apa itu? Sosis?” Celoteh Adun. Rama menegur, membisikinya untuk tidak bersuara. Ini forum serius, Dun.

“Butuh pengumpulan bukti yang jelas supaya tidak salah dalam menghukum sesuatu.”

“Pokoknya selesaikan secepatnya ya pak dalam 1×24 jam ini.” tegas Rama.

“Siap. Bapak sangat mengapresiasi tindakanmu Nak.”

Rama dan teman-temanya pamit pulang.

—0—

“Bani, di mana kamu bersembunyi?”Rama berteriak mencari-cari Bani. Di antara mereka, hanya Bani yang belum ditemukan keberadaannya.

“Rama, Adun, Sali, sini! “

Ketika hendak bersembunyi, Bani dikejutkan dengan sebuah gedung tinggi mewah dan pabrik di atas pesawahan. Tak ada kesejukan yang terlihat melainkan asap-asap kotor melayang di udara dan suara bising mengganggu telinga.

Mereka menatapnya dengan terkesima kemudian saling memandang satu sama lain.

“Kenapa hutan dan sawah kita jadi begini?”

“Bagaimana anak-cucu kita dapat merasakan kayanya alam desa?”

“Aku takut bencana alam menimpa anak-cucukita karena ulah keserakahan manusia.”

“Aku tak menyalahkan jika lahan sawah dan hutan dibangun untuk kepentingan pendidikan. Tapi ini?”

Mereka berturut-turut saling menuturkan rasa kecewanya terhadap keadaan desa sekarang. Berselang beberapa detik kemudian, geledek mulai terdengar diiringi petir dan guntur yang membuat mereka terkaget.

“Ayo kita pulang!”

Sayang, sebelum mereka sampai rumah, curah hujan kian tinggi dan genangan air tak merembes ke tanah ataupun mengalir ke sungai. Air itu kian meninggi dan meninggi.

“Tidaaaaaaakkkkkkkkkk…..”

Rama terbangun dari tidur siangnya di atas sofa. Sembari berkata-kata tanpa sadar.

“Aku tidak akan membiarkan sejengkal pun tanah desaku termakan oleh orang asing. Sampai kumenutup mata.”

Ibunya yang sedang menyapu tak mampu menahan tawa karena Rama sendiri masih menutup matanya dan belum sadarkan diri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *