Pemuda dan Keteladanan Sejarah Idul Adha

“Fenomena penyembelihan Ismail oleh ayahnya, Ibrahim adalah fenomena luar biasa. Ia adalah fenomena cinta ketuhanan dan bentuk ketaatan sempurna yang bersifat transenden. Kalaulah Ismail tidak memiliki iman yang kuat dan di dalam hati Ibrahim tidak bertahta keyakinan serta kecintaan kepada Dzat yang telah menciptakannya, maka tidaklah akan dilakukan perintah Tuhannya (yang tidak etis di mata kemanusiaan).”

Khitabulah atau perintah Allah kepada manusia selalu memiliki hikmah filosofis yang mendalam. Salah satunya adalah disembelihnya Ismail oleh ayah tercintanya, Ibrahim ‘alaihissalam. Perintah ini bersumber dari mimpi Ibrahim yang terabadikan dalam ayat suci Al-Qur’an surat Ash-Shaffat ayat 99-111. Dengan penuh kasih sayang, Ibrahim berkata kepada anaknya :

“Wahai putraku yang kusayangi, sesungguhnya aku mendapati perintah melalui mimpi agar aku menyembelihmu. Bagaimana pendapatmu?”

Ini merupakan redaksi keberanian dan sekaligus kelembutan serta kebijaksanaan seorang ayah. Di samping mengutarakan perintah yang pahit, tapi Ibrahim mengutarakannya dengan lembut. Ia bahkan meminta pendapat kepada Ismail akan perintah Tuhannya itu.
Ismail pun menjawab:

“Wahai ayahku, laksanakanlah apa yang telah diperintahakan Tuhan kepadamu. Semoga engkau mendapatiku sebagai orang yang sabar.”

Redaksi yang mencerminkan pemuda tangguh dan pemberani terlontar dari mulut seorang anak bernama Ibrahim. Di usia kecilnya sudah tampak jiwa kepasrahan akan perintah Allah.

Di dalam rentetan ayat mimpi Ibrahim tersebut terdapat redaksi bahwa Allah telah menyaksikan bentuk perintahnya kepada Ibrahim dengan sempurna sebagai bentuk ujian yang nyata kepada Ibrahim. Kemudian Allah tembus nabi Ismail dengan sembelihan hewan Qurban untuk menjadikan teladan untuk orang-orang sesudahnya.

Doc. google.com

Fenomena besar ini menjadi dasar filosofis disyariatkannya berqurban dalam Islam. Tujuan penyembelihan hewan qurban ini adalah untuk mencapai predikat bertaqwa sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an surat Al-Hajj ayat 37. “Tidak akan sampai daging dan darah qurban itu kepada Allah, tetapi yang sampai ialah taqwa kepada Allah subhanahu wata’ala.”

Ibadah qurban menjadi momentum kepasrahan seorang makhluq atas keagungan Sang Khaliq, yaitu berupa kepasrahan urusan nafsu duniawi untuk dikurbankan dan dilepaskan dari dalam diri sehinggga yang tersisa hanyalah keimanan dan ketaatan kepada Allah.

Hewan qurban adalah simbol unsur hewani yang ada dalam diri manusia. Dan penyembelihan qurban dilambangkan sebagai bentuk penyembalihan sifat-sifat buruk pemilik hewan qurban tersebut. Segala unsur hewani yang ada dalam diri manusia seperti ego, nafsu birahi, amarah, sombong, dan segala bentuk kejelekan hati dimusnahkan melalui penyembelihan hewan qurban.

Ketaatan akan perintah Allah ini merupakan ketaatan yang hebat. Seyogyanya para pemuda milenial dapat meneladani kisah Ibrahim dan Ismail ini dalam berbagai konteks kehidupan. Misalnya dalam konteks mencari ilmu. Telah diwajibkan kepada setiap muslim dan muslimat untuk mencari ilmu dari lahir hingga ke liang lahat. Mencari ilmu adalah hal yang pahit dan berat jika dilihat dari kaca mata nafsu hewani. Hingga ulama besar, Imam Syafi’i mengungkapkan: “Jika engkau tidak kuat menahan pahitnya mencari ilmu, maka engkau harus kuat menahan pahitnya kebodohan.” Maka lakukanlah dengan sebaik-baiknya perintah Allah ini. Niscaya predikat taqwa akan kita raih di hadapan-Nya. (Fadlan/red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *