Pelacur Kelas Teri

Sumber gambar: posmetropadang.co.id
Sumber gambar: posmetropadang.co.id

Gadis perawakan Jawa itu masih berjalan sendirian di tengah dinginnya malam. Semenjak ia diusir dari rumah majikannya, sampai sekarang ia belum menemukan rumah tinggal. Ia diusir karena dituduh mencuri perhiasan majikannya. Sesekali kakinya tersaruk bebatuan jalan. Bising kendaraan yang lalu lalang, lampu jalanan yang temaram menemaninya di sudut jembatan. Malang nasibnya. Kini ia hidup sebatangkara di kota yang tak pernah sepi dari lalu-lalang kendaraan. Ia sempat datang membawa harap



an yang begitu besar dari desa tempat ia dilahirkan, tapi ternyata menjadi penduduk urban tidaklah seindah yang ia bayangkan. Hawa dingin semakin menusuk-nusuk kulit. Ia terpaksa harus tidur di bawah jembatan malam ini, ditemani nyamuk dan suara klakson yang bersahutan.

Namanya Dahayu Prastuti, ia sering disapa Dayu. Ia gadis desa yang polos penuh dengan sopan-santun. Ia tak pernah melanggar aturan di rumah majikannya dahulu. Bahkan, ia sangat rajin dan patuh, entah apa yang membuatnya dituduh mencuri perhiasan sampai-sampai ia harus terusir. Ia seorang diri di kota yang tak mengenal saudara ini. Langkahnya cukup keras menapaki kerikil-kerikil kehidupan. Sampai akhirnya kakinya berhenti di sebuah gang yang cukup pekat. Tampak keriuhan di dalamnya. Wanita-wanita berperawakan indah berdiri di pinggir jalan menanti para pekerja kasar yang berhenti dan menghampirinya. Lalu pergi menuju tempat yang ia sebut remang-remang. Ia sadar ia telah salah melangkahkan kaki dan berniat untuk pergi dari gang pekat itu.

“Tunggu…!!” suara wanita paruh baya itu menahan langkah kakinya. Terlihat sosok dari kejauhan yang menurutnya “wah”.Ia tak pernah melihat penampilan seperti ini sebelumya. Pakaiannya di atas paha. Belahan dadanya sangat menggoda bagi siapa saja lelaki yang melihatnya.

“Eh, eh, ada gadis cantik rupanya.”Ia sedikit menggoda dengan membelai rambut Dayu yang terlihat kusam dan kusut. Belakangan diketahui namanya adalah Sri. Seorang perempuan dari tanah Jawa yang juga mengadu nasib ke kota. Ia sempat memiliki harapan yang sama seperti Dayu.

Dayu hanya tersenyum polos dan menyapa Sri. “Punten Mbak, kayaknya saya ini kesasar ya. Maaf, Mbak.”

Sri memiliki rencana buruk bagi Dayu,ia menawarkan sebuah pekerjaan untuk Dayu. Meskipun sempat ragu dan ketakutan, Dayu akhirnya menerima tawaran tersebut karena gaji yang ditawarkan sangat menggiurkan meskipun tidak terlalu banyak bagi kolongan orang-orang berduit. Kini Dayu tersesat disebuah jalan yang jauh, orang-orang sering menyebutnya tempat lokalisasi. Ia tersesat untuk waktu yang tidak sebentar. Kakinya bergetar memasuki pintu utama. Dilihatnya banyak sekali laki-laki dan perempuan yang berduaan di setiap kamar. Dayu yang sedari tadi diceramahi hanya terdiam dengan kepolosannya. Sri membawanya ke kamar dan merubah penampilan Dayu menjadi wanita cantik. Kulitnya yang putih semakin cerah, tubuhnya dibalut pakaian mahal, namun raut wajahnya memperlihatkan ketakutan dan kegelisahan.

Sri mulai menghasut Dayu dengan logat Jawa-nya yang sangat khas, “Aku mbiyen yo koyo kowe Yu, tapi saiki, delok? Aku iso sukses koyo ngene ki mergo iki. Kowe lungguh ae, nko tunggu aba-abaku yo!” Sri memberikan kode pada Dayu karena telah ada seorang pria yang telah menunggu di sofa merah yang terletak di sebelah kanan Dayu.

Dayu merasa risih dengan pakaian yang ia kenakan. Ia merasa malu harus mengenakan baju yang amat minim. Sri akhirnya membawa Dayu masuk ke dalam kamar bersama pria yang tak dikenalinya. Dayu merasa ketakutan. Malam ini menjadi malam yang amat kelam baginya. Ia meronta kesana-kemari tapi ia tak berkuasa menolak nafsu bejat laki-laki itu. Ia menangis dan meronta. Ia tak pernah membayangkan sebelumnya kalau hal ini akan terjadi padanya. Pakaiannya tercabik-cabik. Air matanya mengalir deras membasahi pipinya yang sarat akan make-up. Ketika lelaki bejat itu telah puas melampiaskan nafsunya, lalu ia pergi dan meninggalkan beberapa lembar uang kertas merah di kasur, memang jumlahnya tak banyak karena di sini dari kalangan menengah bawah hingga rendah. Uangnya memang tak begitu tebal nampaknya, Dayu tak menghiraukan uang yang tergeletak di atas kasur. Ia tak kuasa menahan rasa malu dan sakitnya karena telah ternodai oleh laki-laki itu.

Sri kemudian masuk dan memberi pengertian kepada Dayu bahwa semua ini hanya awal, dan Dayu tak kuasa menolak dengan pahitnya kehidupan yang digambarkan Sri diluar sana. Seolah-olah hidup di luar sana dapat mebuatnya mati perlahan. Dayu dengan kepolosanya hanya bisa mengangguk pasrah.

Sejak malam itu, melayani laki-laki adalah pekerjaan tetapnya. Entah bagaimana seorang Dayu dapat melakukan perannya dengan segala keterpaksaan. Lagi-lagi soal harta. Kapitalisme sudah membutakan mata batin Dayu. Meskipun sebenarnya batinnya meronta memintanya untuk berhenti, tapi kehidupannya yang keras tak mengijinkannya berhenti karena jika ia berhenti sama saja ia membiarkan kakinya juga berhenti untuk menapak di bumi.

Dayu merasa ia salah telah melakukan ini, ia merasa ingin pergi dari tempat lokalisasi itu. Dilema menggelayuti hatinya, sedangkan selama ini ia dapat berkirim uang tiap bulan untuk orang tuanya melalui lokalisasi tersebut. Setiap ia selesai melayani laki-laki hidung belang, Dayu menangis dan menyesal. Selalu seperti itu hingga akhirnya hubungan seks tersebut terjadi diluar pemikirannya.

Dayu hamil. Entah anak siapa yang ia kandung. Tetapi ia yakin anak yang ia kandung adalah salah satu dari beberapa pria yang telah tidur bersamanya. Ia memutuskan berhenti dari tempat lokalisasi itu dengan menanggung beban yang amat berat. Tetapi Sri tetap membolehkan jika Dayu ingin kembali lagi setelah melahirkan dengan syarat selalu menjaga keindahan tubuhnya. Sampai akhirnya ia melahirkan dan membesarkan anaknya dengan uang sisa hasil prostitusi yang ia lakoni. Dayu memenuhi kebutuhan hidupnya dengan berjualan, tetapi kebutuhan hidup yang semakin mendesak membuatnya kembali ketempat lokalisasi yang dikelola Sri.

Sampai suatu malam ketika anaknya yang telah berusia 4 tahun bertanya, “Buk, Ibuk mau kemana?”

“Ibuk mau cari uang untuk kebutuhan kita Nak, kamu bobok ya.”

“Kok cari uangnya malam-malam, gak bisa besok pagi ya, buk aku takut tidur sendirian.”

“Gak bisa, sayang. Ibuk nanti cepet pulang kok kalau sudah selesai. Kamu bobok ya sekarang.”

“Ibuk janji ya setelah selesai cepet pulang. Nanti kalau aku sudah besar, aku gak pengen kerja malam-malam kaya ibuk ah, aku pengennya kalau malam nemeni ibuk biar gak sendirian. Ya udah ibuk hati-hati ya. Aku bobok deh.”

Dayu terdiam dan tanpa terasa air matanya meluncur deras. Ia berusaha menyembunyikan air matanya dari anaknya. “Sayang kamu nanti akan jadi anak hebat, kamu gak boleh seperti Ibuk ya, nak.”

(Tika L/Crew Magang_)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *