Nightmare (Part II)

ilustrasi nightmare (sumber gambar: showbiz. liputan6.com)
ilustrasi nightmare (sumber gambar: showbiz. liputan6.com)
ilustrasi nightmare (sumber gambar: showbiz. liputan6.com)

Baca  Nightmare Part I

Cuaca di luar masih dingin, hujan salju masih enggan untuk berhenti. Pencahayaan ruangan yang terlampau remang membuat tubuh Jungkook seketika menegang. Pria itu baru tersadar arti dari keringat dingin Jiyeon yang menjadi sekat genggamannya. Di saat yang bersamaan, bariton milik pria itu—yang mulai sekarang ia benci, tepat berada di belakangnya.

“Brengsek!” umpat Jungkook. Ia segera menarik Jiyeon cepat ke belakang tubuhnya. Hingga ia berhadapan dengan Chanyeol sekarang. “Sebenarnya, apa maumu? Tidak puaskah kau membunuh Irene dan memecahkan kepalanya?” geram Jungkook.

Chanyeol hanya semakin menunjukkan seringai andalannya. Tidak peduli dengan umpatan kasar yang Jungkook tuduhkan tentangnya. Toh, itu semua memang benar.

“Apa kau pikir, aku akan melepaskanmu?” bariton Chanyeol yang berat dan besar membuat jantung Jungkook memompa secara liar, takut. “Huh, jangan harap!” peringat Chanyeol, menunjuk-nunjuk wajah Jungkook dengan kapak besar yang ia bawa.

“Sebenarnya apa maumu?” teriak Jungkook. Chanyeol terkekeh. Jungkook menggeram tertahan, salah satu tangannya sudah tidak lagi menggenggam telapak tangan milik Jiyeon. Sibuk mengepal sendiri dan terjuntai ke bawah di kedua sisi tubuhnya, seakan ingin meredam keras-keras amarahnya.

“Jiyeon!” singkat Chanyeol. Pria jakung dengan balutan kemeja hitam itu mengerling, menatap Jiyeon. Tidak memerhatikan Jungkook yang kapan saja bisa dengan cepat membalas Chanyeol dengan bogeman.

Bugh!

Jungkook mendaratkan bogeman keras di ulu hati Chanyeol. Chanyeol meringis kesakitan dan tersungkur di lantai dengan mengenaskan. Pantas saja, sebab, bogeman itu bukan berasal dari kepalan tangan milik Jungkook. Melainkan kepalan yang ternyata menggenggam sebuah besi yang sedari tadi Jungkook genggam.

Chanyeol mengingsut, mendekati tepian dinding dengan tangan kiri masih meremas ulu hatinya yang berdenyut. Tangan kanannya sudah tidak menggenggam sebuah kapak besar lagi, entah ia sadar atau tidak, kapak itu beralih pada genggaman Jungkook. Jungkook tersenyum penuh kemenangan, tidak menyangka, sangat mudah untuk melumpuhkan seorang Park Chanyeol. Harusnya, ia bertindak sedari tadi untuk menyelamatkan Irene.

Jungkook membalikkan tubuhnya menghadap Jiyeon. Gambaran wajah Jiyeon masih menegang, napasnya masih tersengal. Kedua kelopak mata gadis itu pun terpejam secara sempurna, bahkan kedua tangannya mengepal di kedua sisi tubuhnya. Jungkook tahu, gadisnya meredam ketakutan.

“Tenanglah, Jiyeon … kita akan segera aman!” Jungkook menenagkan Jiyeon dengan tangan kirinya yang mengelus surai kecokelatannya. Sertamerta Jiyeon membuka kedua kelopak matanya, kekasihnya tersenyum lembut, menenangkan. Chanyeol merintih kesakitan dan bersender ke dinding di belakang Jungkook.

“Kita harus cepat, Jungkook! Jangan biarkan Si Brengsek itu mendekati kita lagi!” titah Jiyeon, sengau.

Krak!

Krak!

Krak!

Krak!

Sulit, kapak besar yang dipergunakan Jungkoo, ternyata tak mempan untuk menjebolkan pintu aula. Bahkan kenop yang semestinya mudah, hampir saja beralih fungsi menjadi pemenggal lengan Jungkook—jika saja lengan lainnya masih sibuk menyentuh bagian atas kenop.

“Ayo, Jungkook! Cepatlah sedikit!” rengek Jiyeon, menyemangati Jungkook. Jiyeon memicingkan kedua ekor matanya, memerhatikan Chanyeol yang masih merintih bersandar di dinding. Ia menghela napas lega, setidaknya Chanyeol masih merasa kesakitan di sana, dan kesempatan masih ada.

Krak!

Krak!

Masih sulit. Masih sulit bagi Jungkook untuk menjebolkan pintu itu. Sepertinya, keahliannya memang hanya mendapatkan hati Jiyeon, bukan menjebolkan pintu.

Kriek!

Tanpa Jungkook dan Jiyeon sadari, Chanyeol telah berhasil melayangkan besi panjang pada tengkuk Jungkook. Jungkook refleks melepaskan genggamannya pada kapak yang ia genggam. Pandangan Jungkook memburam. Jungkook tersungkur di atas lantai, dengan cairan merah kental yang mulai keluar tanpa henti di balik tengkuknya.

Tubuh Jiyeon bergetar hebat, bau anyir menohok indra penciumannya. Suguhan Jungkook yang terkulai lemas dengan kubangan darah segar di depannya membuatnya sesak napas. Kedua belah bibirnya kembali komat-kamit, mengucapkan sumpah serapah untuk Chanyeol. Ia juga berdoa sebuah keajaiban, Jungkooknya terbangun dan membunuh Chanyeol.

“Sekarang, sudah tidak akan ada yang bisa merebutmu dariku!” seru Chanyeol. Pria jakung itu melangkah dengan sempoyongan mendekati Jiyeon. Jiyeon terus melangkah mundur, takut. Saat punggung Jiyeon terhantam dinding, tubuhnya kembali bergetar hebat. Ia tidak mau, Chanyeol berbuat buruk padanya, membunuhnya, ataupun memenggal kepalanya—seperti yang ia lakukan pada Irene.

Jiyeon memejamkan kedua matanya lekat, masih berharap Jungkook akan menolongnya. Nyaris baginya menendang tulang kering Chanyeol, jika saja sebuah debuman keras tak ia dengar.

Bruk!

Jiyeon membuka kedua matanya, merasa tercengang dengan apa yang ia lihat. Entah selang waktu berapa detik setelahnya, tubuh Chanyeol kembali terkulai lemas di lantai. Sosok Jungkook muncul di belakang Chanyeol. Bola basket bersuarai hitam menggelinding melewati kedua kaki Jiyeon, membuat gadis itu terperangah ketakutan. Itu, kepala Chanyeol.

***

Payungan, 6 April 2016

(Intan Hidayanti/Crew Magang_)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *