Kemajuan Ekonomi Tanpa Riba, Maisir, dan Gharar

Oleh : Narendra Irawati

Jika kita merenung dan memfokuskan perhatian pada ayat-ayat yang terdapat pada Al-Qur’an. Maka kita akan berkesimpulan bahwa wahyu Nabi Muhammad SAW berupa mushaf tersebut diturunkan sebagai pedoman hidup umat manusia.

Hal ini menunjukkan bahwa Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunah benar-benar ditujukan untuk manusia sebagai agama yang sempurna, sehingga ajarannya sesuai dengan fitrah dan kemampuan manusia.


Rangkaian ibadah umat Islam berhubungan langsung dengan Tuhan. Q.s Al-Ankabut/29: 45 menjelaskan bahwa melakukan kewajiban sholat adalah pencegahan terhadap perbuatan keji dan munkar.

Tak hanya masalah ibadah saja, Islam juga mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Salah satu ajaran Islam yang mengatur kehidupan manusia adalah aspek ekonomi (muamalah).


Larangan-larangan bertransaksi dalam muamalah, yaitu dilarangnya praktek riba, maisir, dan gharar. Tentu Islam pasti memiliki tujuan dibalik pelarangan praktek tersebut. Secara garis besar pelarangan tersebut menghindari penindasan antar umat beragama.

Islam melarang praktek riba, karena terdapat motif penindasan dalam praktek ini. Kenapa? Jika terdapat kepala keluarga disuatu desa tertentu yang sangat butuh modal untuk berwirausaha, karena kebutuhan primernya tidak tercukupi.

Maka jalan satu-satunya adalah berhutang, namun untuk membayar pokok tagihan hutangnya saja sangat tidak mampu, ditambah lagi dengan bunga yang harus dibayarkan. Untuk lebih jelasnya berikut tentang riba, maysir, dan gharar.


Dikutip dari Makalah Muhammad Arif:2019 Program Magister (S2) Universitas Alaudin Makasar, Secara etimologi riba berarti Az-Ziyadah artinya tambahan.

Sedangkan menurut terminologi adalah kelebihan atau tambahan pembayaran tanpa ada ganti, atau imbalan yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang membuat akad (transaksi).

Diantara akad jual beli yang dilarang keras antara lain adalah riba. Riba secara bahasa berarti penambahan, pertumbuhan, kenaikan, dan ketinggian. Sedangkan menurut syara’, riba berarti akad untuk satu ganti khusus tanpa diketahui perbandingannya, dalam penilaian syariat ketika bertransaksi atau bersama dengan mengakhirkan kedua ganti atau salah satunya.


Dengan demikian riba menurut istilah ahli fikih adalah penambahan pada salah satu dari dua ganti yang sejenis tanpa ada ganti dari tambahan ini. Tidak semua kelebihan dianggap riba, karena kenaikan terkadang dihasilkan dalam sebuah perdagangan dan tidak ada bunga didalamnya.


Hanya saja tambahan yang di istilahkan dengan nama ‘riba’ dan al-Qur’an datang menerangkan pengharamannya adalah tambahan yang diambil sebagai ganti rugi dari tempo yang ditentukan.

Sahabt Nabi Muhammad SAW yang bernama Qatadah berkata: “Sesungguhnya riba orang jahiliyah adalah seseorang menjual satu jualan sampai tempo tertentu dan ketika jatuh tempo dan orang yang berhutang tidak bisa membayarnya dia menambahkan hutangnya dan melambatkan tempo.”


Q.S Al-Baqarah: 275 menjelaskan, yang artinya “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” Maksud ayat ini adalah menjelaskan manfaat jual-beli bagi individu atau masyarakat.

Dan orang-orang yang ber-muamalah dengan riba akan diberi adzab yang pedih dari Allah karena telah melanggar perintahnya. Dikutip dari tafsirweb.com ayat ini turun karena dahulu kaum Yahudi menyamakan jual beli dengan riba.

Mereka berkata, “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan praktek riba dalam kehalalan keduanya, karena masing-masing menyebabkan bertambahnya kekayaan.”

Maka Allah mendustakan mereka dan menjelaskan bahwa Dia menghalalkan jual beli dan mengharamkan transaksi riba. Karena sebenarnya dalam prakteknya terkandung unsur pemanfaatan kesempatan dalam kesempitan, hilangnya harta dan kehancuran.

Sebagaimana penulis telah sampaikan diatas yaitu sama dengan penindasan kaum lemah. Gharar merupakan larangan utama kedua dalam transaksi muamalah setelah riba.

Penjelasan pasal 2 ayat (3) peraturan Bank Indonesia no.10/16/PBI/2008 tentang perubahan atas peraturan Bank Indonesia. No.9/19/PBI?2007 tentang pelaksanaan prinsip syari’ah dalam kegiatan penghimpunan dana, dalam penyaluranya serta pelayanan Jasa Bank Syari’ah.

Memberikan pengertian mengenai gharar sebagai transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syari’ah.

Gharar mengacu pada ketidakpastian yang disebabkan karena ketidakjelasan berkaitan dengan objek perjanjian atau harga objek yang diperjanjikan dalam akad.


Dari uraian diatas, gharar berarti tindakan ber-muamalah dengan ketidak jelasan akad nya, sehingga merugikan orang lain. Atau dengan kata lain gharar bisa disebut juga dengan penipuan. Lain halnya dengan maisir.


Maisir adalah transaksi yang digantungkan pada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan. Menurut Muhammad Ayub dalam buku Problematika Investasi pada Bank Islam Solusi Ekonomi, maisir dimaksudkan sebagai permainan untung-untungan (game of cance).

Dengan kata lain bisa disebut dengan perjudian. Dari pengertian riba, gharar, dan maisir yang telah dijelaskan diatas. Penulis berpendapat bahwa transaksi yang sulit dihilangkan adalah riba.

Karena sering kita jumpai bank serta negara kita menjadikan bunga sebagai modal pemasukan. Dapat dilihat dari kebijakan moneter yang menerapkan sistem bunga untuk menguatkan nilai mata uang negara.

Yaitu dengan, meningkatkan dan menurunkan tingkat suku bunga untuk mengatur peredaran uang dimasyarakat. Beda halnya dengan gharar dan maisir yang bisa kita hindari karena jelas-jelas merugikan orang lain.


Maka dari itu, salah satu solusi mengurangi praktik riba dengan bermuamalah lewat bank syariah. Karena dalam praktiknya bank syariah mengganti sistem bunga menjadi akad transaksi yang sesuai dengan kebutuhan nasabahnya.

Contohnya yaitu, mudharabah, musyarakah, ijarah muntahiyah bit-tamlik, dan lain sebagainya. Salah satu transaksi didalam bank syariah adalah mudharabah. Mudharabah sering disebut juga dengan sistem bagi hasil.

Sistem ini tidak menekan nasabah dengan sistem bunga yang penulis paparkan diatas. Sistem bagi hasil ini disesuai dengan keuntungan serta kerugian yang didapat oleh nasabahnya. Jadi tidak ada motif mengambil kesempatan dalam kesempitan orang lain.


Contoh hal kecil diatas, jika sudah jauh diterapkan maka tidak ada lagi kesenjangan di negara Indonesia. Hal ini karena bank syariah yang menganut sistem ekonomi Islam, yang sudah jelas tidak menggunakan sistem bunga.

Tetap bisa membantu terwujudnya kestabilan nilai mata uang dari kebijakan moneter. Selain itu, bank syariah juga dapat membantu mengangkat perekonomian masyarakat dengan akad yang sudah tersebut diatas.


Sudah seharusnya sebagai umat Islam kita harus menjauhi riba, gharar, dan maisir. Selain menghindari dosa. Menjauhi praktek tersebut dapat memajukan perekonomian baik dari segi mikro hingga makro.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *