Cerpen: The Dream Tree

Oleh: Risqa Aulia Rokhmah

Pagi ini seperti biasanya aku beranjak dari tempat tidurku untuk bersimpuh di hadapan-Nya. Di sepertiga malam ini aku biasanya mengadu dan bercerita panjang lebar kepada-Nya. Terutama berdoa untuk mama dan segudang impian yang akan aku gapai. Aku menggantung doa dan impian di tembok kamarku yang bergambar pohon besar. Aku selalu menyiraminya dengan doa dan sholawat agar Allah meridhoi impian dan doa-doaku. Aku hanya percaya kepada Tuhan ku sendiri bahwa Dia ada dan Dia adalah yang Maha segalanya.

Namaku Syifa Kamila Husein. Pagi ini aku segera mempersiapkan diri untuk pergi ke kampus. Segera ku ambil jilbab pashmina berwarna merah marun di kasur yang sebelumnya sudah aku siapkan. Dan aku segera turun ke meja makan untuk sarapan dengan mama ku yang sedari tadi sudah mempersiapkan makanan.

Dua belas tahun yang lalu, mama memutuskan untuk bercerai dengan ayah. Karena ayah bermain perempuan di belakang mama, dengan membawa kak Fisya ayah pergi meninggalkan aku dan mama di rumah. Aku tahu sakit yang dirasakan mama saat itu, saat ditinggal oleh imam yang dicintainya.

Aku mahasiswi tingkat akhir yang sebentar lagi akan menjalankan sidang, karena skipsiku kemarin sudah disetujui pembimbingku. Di kuliah S1 ini aku bener-bener serius. Aku harus mempertahankan prestasiku, karena selama S1 ini aku tidak mengeluarkan biaya apapun, karena aku mendapat beasiswa sejak dari awal masuk sampai lulus. Aku bersyukur sekali karena aku bisa meringankan beban mama. Aku mahasiswi Fakultas ekonomi yang memilih akan melanjutkan pendidikanku ke jenjang S2 di luar negeri. Iya aku memilih melanjutkan di luar negeri karena aku ingin segera meninggalkan Indonesia bersama dengan mama.

Setelah sidang selesai, aku akan segera mengikuti tes beasiswa yang akan membawaku menuju kuliah di USA (United States of America). Iya aku sangat suka dengan USA mulai dari bangunannya, bunga-bunga saat musim semi, dan yang sangat aku suka adalah warna aurora. Cahaya warna warni yang muncul di langit saat malam hari di musim dingin.

Selama ini aku mempersiapkan tes dengan sungguh-sungguh. Aku selalu membagi waktuku untuk belajar, menyelesaikan skripsi dan organisasiku di kampus. Seperti halnya pohon yang setiap hari disirami dengan air, agar selalu tumbuh dan berbuah manis. Aku juga harus menyirami otakku dengan membaca buku yang akan memberiku ilmu dan pelajaran, agar bisa aku gunakan untuk kehidupanku suatu saat nanti.

Aku juga punya sahabat namanya Ali, dia baik banget sama aku. Dia sering menjemputku saat ke sekolah atau hanya untuk main. Kita sahabatan dari kecil. Tak bisa aku pungkiri Ali pun ingin melanjutkan pendidikan di USA juga, tapi kita beda jurusan. Aku di jurusan ekonomi dan Ali di jurusan teknik. Akhirnya kita belajar bersama agar bisa lolos dan mendapatkan beasiswa Fully Funded atau beasiswa penuh di USA.

Saat lulus SMA Ali pernah menembakku untuk jadi pacarnya, tapi aku tidak meng-iya-kannya. Karena aku tidak mau kehilangan sahabat kecilku. Lagi pula islam sangat memuliakan perempuan, jika ada laki-laki yang mencintainya agama memerintahkan untuk segera mendatangi orang tuanya lalu mengkhitbahnya. Dan Ali tidak mempermasalahkan hal itu, karena memang yang aku katakan adalah benar. Ali seperti abang yang selalu melindungi adiknya, yang ada saat adiknya sedih dan bahagia. Walaupun sebenarnya aku juga menyukai Ali, tapi aku ragu apa itu cinta karena Allah, atau cinta karena nafsu. Aku juga takut kalau aku pacaran nanti aku malah menomor dua kan Allah, tuhan yang menciptakan aku. Dan yang akan membantuku untuk menggapai impianku untuk membawa mama ke USA.

Waktu semakin cepat berlalu, hari ini adalah hari di mana aku dan Ali akan berjuang untuk masa depan kami. Di ruang ujian banyak sekali orang yang ekspresinya sudah siap untuk mengerjakan soal. Aku semakin gugup tapi Ali, dia meraih tanganku dan menggenggamnya untuk berjalan di sampingnya. Raut wajahnya yang mengatakan

“Tidak apa-apa Fa. Kita bisa. Kita akan pergi ke USA bersama,”

Dari raut wajahnya yang sangat PD membuat hatiku sedikit tenang dan percaya diri, bahwa aku mampu melewati ujian ini.

Seminggu setelah ujian beasiswa aku menunggu pengumuman di email, setelah shalat dzuhur aku segera membuka email dengan masih menggunakan mukena, rencananya habis buka email aku ingin melanjutkan tadarusku. Dan setelah membukanya, di sana terihat ada email yang belum aku baca. Aku segera membukanya dan Yesss aku lolos dalam beasiswa fully fanded di US. Aku segera menelfon Ali untuk menanyakan hasil ujiannya. Dan alhamdulillah Ali juga lolos. Aku segera berterimakasih dengan Allah dengan sujud syukur dan yang selama ini mendengar doa-doaku di pohon impian ini, saking senangnya aku segera memeluk tembok kamarku yang bergambar pohon impianku, tak terasa air mataku tiba-tiba mengalir karena saking terharunya dengan masih mengenakan mukena aku segera mencari mama untuk memberi tahu berita bahagia yang selama ini aku perjuangkan. Tapi saat aku mencari mama di kamar, mama tidak ada di sana, aku segera menuju dapur dan aku menemukan mama dalam keadaan pingsan dan sudah tergeletak di lantai. Aku segera mendatangi mama, dan membangunkannya, namun mama tidak bangun. Betapa hancurnya hati ini dan sekujur tubuhku mulai gemetaran. Aku segera menghubungi ali untuk meminta bantuan agar mama segera dilarikan ke rumah sakit. Namun saat tiba di rumah sakit dokter mengatakan mama sudah meninggal akibat sakit jantung.

Deg aku yang mendengar perkataan dokter langsung kaget dan menjatuhkan badanku ke lantai. Air mata yang hangat ini langsung jatuh dan membasahi pipiku. sementara Ali dia memegang kedua pundakku dan menunutunku untuk menuju kursi yang ada didepan ruangan.

“Istigfar dulu Fa. Kamu yang sabar yaa”

Aku terus menangis dan tidak menjawab perkataan Ali. Sudah ada 10 menitan aku menangis di depan ruangan mama, aku tidak berani masuk karena aku nggak tega melihat mama tidur untuk selama-lamanya. Sedari tadi, juga aku melihat Ali dengan jarak 5 meter dengan ku sedang sibuk untuk menelpon orang-orang. Aku tidak tahu siapa yang di telpon itu, aku juga tidak peduli. Yang sekarang ada di pikran aku adalah mama dan kelulusanku dalam mendapat beasiswa di US.

“Kenapa harus mama Ya Allah? Kenapa harus sekarang? Kenapa engkau tidak bisa menunggu untuk 3 tahun lagi saat Syifa lulus S2 saja? Kenapa engkau tidak memberi tanda-tanda kepada Syifa? Biar Syifa persiapan terebih dulu” Aku mengatakannya dalam hatiku dan masih menangis. Dengan pertanyaan yang sama yaitu Kenapa.

Aku masih tidak bisa menerima semua ini. Ini seperti mimpi begitu juga kelulusanku untuk mendapat beasiswa.

“Ya Allah mending Syifa ga usah dapat beasiswa saja ga papa. tapi tolong kembalikan mama” rengekku pada Allah.

Tiba-tiba Ali mendatangiku untuk mencoba menenangkanku dan membujukku untuk melihat jenazah mama di dalam. Tapi aku takut. Air mata ini terus mengalir di pipiku.

“Sabar ya Fa. Allah yang menghidupkan manusia di bumi ini. Tapi Allah juga yang memanggil manusia di bumi. Allah sedang rindu dengan mamamu Fa dan memintanya untuk pulang. Kamu jangan sedih terus dong. Ayo doain mama kamu, biar di perjalanan untuk bertemu Allah mama kamu selamat dan diterima di sisinya.” Bujuk Ali padaku

“Sekarang pelan-pelan kamu tarik nafas yang panjang kemudian hembuskan dari hidung ya,” ucap Ali.

Aku pun menuruti apa yang dikatakan sahabatku. Lalu Ali menuntunku untuk bertemu dengan mama untuk terakhir kalinya. Di depan pintu kamar saja aku sudah tidak kuat dan menghentikan langkahku.

“Aku nggak bisa Li… Aku takut, aku gak bisa melihat mama yang menutup matanya untuk selama-lamanya” ucapku pada Ali dengan air mata yang terus membasahi pipiku.

“Gak papa Fa. Pelan-pelan aja. Kamu harus melihat mamamu untuk terakhir kalinya, biar kamu gak menyesal suatu saat nanti. Aku di sini kok Fa, aku juga akan menemani kamu,” ucap Ali padaku.

Sedikit demi sedikit aku melangkahkan kakiku untuk menemui mama. Saat melihat mama yang tertidur pulas dengan bibir yang pucat hatiku serasa dirobek-robek dan sangat sakit rasanya. Aku pun langsung memeluk mama dan menciumnya. Air mataku pecah kembali, dan saat itu Ali ada di sampingku untuk menguatkanku.

Aku mendengar adzan ashar dan aku mengajak Ali untuk sholat di masjid rumah sakit, aku ingin bicara dengan Allah dan juga mendoakan mama. Setelah shalat kami pun pulang menuju rumah. Sedangkan jenazah mama dibawa oleh ambulans. Ternyata di rumahku sudah ramai orang-orang. Aku melihat tante Ami dan om Bagas terlihat sibuk menggelar tikar untuk pengajian mama. Mungkin tadi Ali yang menghubungi mamanya untuk mempersiapkan semua ini.

Malam pun tiba, tante Ami dan om Bagas yang pulang ke rumahnya setelah pemakaman mama, tiba-tiba datang lagi dan membawa banyak makanan.

“Syifa kamu makan dulu ya sayang. Nanti kamu sakit kalau nggak makan,” bujuk tante Ami.

“Nggak tante. Syifa nggak lapar,” Kataku.

“Ayo dong Fa kamu makan dulu. Liat tuh pipi kamu sampai mengempis dari tadi nangis mulu,”

“Tante…” panggilku pada tante Ami, yang mengisyaratkan bahwa Ali menggodaku.

“Ali… jangan gitu ah… orang lagi sedih juga masih di gangguin,” bela tante Ami padaku.

“Hehe iya iya sorry. Aku mau pulang dulu ah, mau mandi,” ucap Ali.

Aku tidak menggubrisnya, dan memilih melanjutkan lamunanku tadi. Tak lama kemudian ada rombongan keluarga datang ke rumah. Ternyata itu adalah keluarga ayah. Ahh mau ngapain mereka. Apa mereka tahu kalau mama meninggal? Siapa yang memberi tahu mereka? Taukk ahh… bukan urusanku. Saat aku hendak ke kamar dan meninggalkan ruang tamu. Tiba-tiba seorang cewe memanggilku. Ternyata itu kak Fisya.

Sepertinya tante Ami tahu aku hendak meninggalkan keluarga ayah di ruang tamu. Tante Ami langsung memegangi pergelangan tanganku, dan mengajakku untuk duduk di ruang tamu bersama dengan keluarga ayah. Tak lama kemudian Ali pun datang lagi. Dia langsung bersaaman dengan tamu yang ada di rumahku.

“Sudah lama om?” tanya Ali dengan ayah.

“Nggak, barusan kok nak,”

Ngapain sihh sok kenal aja. Bicaraku dalam hati.

“Makan dulu yuk, kita makan bareng-bareng,” ucap tante Ami.

Semua orang segera berdiri dan dipandu tante Ami untuk mengambil makanan di dapur. Sementara Ali, dia tiba-tiba menarik tanganku ke luar rumah.

“Mau apa,” tanyaku cuek

“Maafin aku ya Fa, sebenarnya yang ngasih tau ayahmu itu aku. Aku tahu kamu bakal gak suka kalau aku ngasih kabar ke ayahmu,”

“Ohh jadi kamu yaa. Kenapa kamu bisa punya nomor ayah?”

“Sebenarnya dulu pas kamu nolak aku, dan kamu ingin dikhitbah di depan orang tua kamu, aku langsung pergi ke rumahmu waktu itu,”

“kok aku nggak tahu?”

“iya lah. Aku nggak ngasih tau kamu kalau aku datang, orang aku perlunya sama mama kamu. Saat itu aku minta kontak ayah kamu yang bisa aku hubungi. Aku juga menceritakan kalau aku baru saja kamu tolak saat itu,” jelas Ali dengan tawanya yang tengil.

“Ihh Ali…”

“Aku juga sudah bicara sama ayah kamu kalau kamu menolak untuk jadi pacar aku dulu hehe,”

“Ali mahh… kenapa kamu gitu sii,”

“Aku bener-bener serius dengan kamu Fa. Aku juga bingung dengan kamu, setiap shalat malam aku selalu kebayang wajah kamu. Kenapa bayangan kamu tidak mau menghilang dari pikiran aku. Maka dari itu aku yakin kalau kamu memang ditakdirkan untuk aku,”

“Alii….” Ucapku semakin malu-malu

“Dan besok rencana aku akan melamar kamu di depan ayah kamu. Maaf aku sedikit terlambat untuk melamarmu di depan mama kamu Fa,”

Keesokan harinya Ali bener-bener melamarku dan seiring berjalannya waktu, sekarang aku sedikit bisa membuka hati untuk ayah dan keluarganya. Bagaimana pun juga aku adalah anak ayah. Biarpun ada mantan istri, tapi nggak ada yang namanya mantan anak. Dua minggu selanjutnya Ali menikahiku, dan mengajakku tinggal di USA karena kita sama sama keterima S2 di USA.

Terimakasih Ali sudah mau menunggu dan berjuang bersamaku untuk menggapai impian yang sangat aku impi-impikan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *