Cerpen: Malam


Oleh: Aditya Ramadhan


Saat malam tiba, aku selalu duduk di depan teras rumahku tepat di bawah lampu bohlam bewarna jingga. Aku terdiam menatap pekatnya malam bersama alunan suara jangkrik yang bersautan, dan semilir angin malam. Teringat dulu bagaimana cerita dari bapak tentang datangnya anugerah dari Sang Pencipta. Suatu kehadiran kehidupan baru di dunia ini. Dengan kerja keras dan keringat membasahi tubuh pada wanita separuh jiwanya, yang menghadirkan pujaan baru bagi keduanya. Tepat pada malam itu aku dilahirkan. Begitulah cerita bapak semasa dia masih ada.


Bapak banyak bercerita dan aku selalu suka jika bapak bercerita. Ia juga mengajariku banyak hal sebagaimana adanya cahaya yang selalu menerangiku. Yang memelukku dikala dingin, membuatku tersenyum dikala tangis, merawat dan membesarkanku hingga remaja, ia memberi tahu antara mana yang baik dengan yang buruk dan juga mana yang salah dengan yang benar.
Di lain sisi, aku hidup hanya dengan bapakku. Karena semasa aku lahir, emak meninggalkanku dan pergi mendahului bapakku. Dari balita hingga menuju remaja, aku dirawat oleh bapak seorang diri dan bapak banyak menceritakan bagaimana sosok emak. Baginya, emak adalah sebuah cahaya bagi kehidupannya. Setelah kepergian emak, kini aku yang menjadi cahaya pengganti di kehidupannya. Kini aku dihimpit oleh kesengsaraan dan kesedihan dalam jiwa. Setelah kepergian bapak, aku hidup dengan kesendirian dan kesunyian. Hanya saja, ingatan mengenai cerita-cerita dari bapak yang sering dilantunkan kepadaku menjadi sebuah hiburan kesunyian untukku. Dan ingatan itu menjadi hobi tersendiri bagiku disetiap malam sepi. Hobi yang teringat untuk mengingat dan kepada yang diingatkan. Segala sumber masalah terjadi disini, yaitu menuju zaman dewasa.


Aku seorang yang bodoh dan lemah, kehidupan hanya melampirkan sebuah dentuman kesunyian terhadapku. Tiada perhatian dan juga tak megenal suatu kasih dan sayang. Karena tak ada tempat bagiku seperti yang dinamakan keluarga. Terkadang dulu jika bapak bercerita mengenai emak, aku selalu ingin bertemu dengan emak. Tapi kini setelah kepergian bapak, aku ingin bertemu dengan keduanya dan memeluk erat keduanya.


Detik semakin berlabuh sedang malam semakin sibuk bermain dengan bulan di kala purnama datang. Lamunanku semakin menjadi-jadi ketika pikiran semakin menusuk sukma terdalam batinku. Meneteskan air mata di setiap tengah malam adalah suatu kebiasaan bagiku, di lain sisi untuk melepas beban penatku juga sebagai ucapan syukur dari-Nya terhadapku. Kini hanya tersisa rindu yang mendalam terhadap emak dan bapakku jauh di alam sana.


Aku ingin bersama emak dan bapak dan menceritakan bagaimana keseharianku dalam berkegiatan. Bercerita tentang bagaimana sekolahku. Seperti teman-temanku yang selalu bercerita bagaimana menyenangkannya di sekolah kepada orang tuanya. Apalah dayaku emak, bapak engkaupun tiada di sisi. Aku ingin bercerita betapa senangnya aku tentang nilai ujianku. Seperti kawan-kawanku yang senang dan bangga nilai ujian mereka mendapatkan nilai sempurna dan bercerita pada orang tuanya tanpa sepengetahuan orang tuanya bahwa nilai yang mereka dapat bukan merupakan dengan cara yang jujur. Sedang aku? Apa yang patut aku banggakan kepada emak dan bapak? Nilai yang kurang seakan memberi kesedihan dan ketidakbanggaan dari emak dan bapak terhadapku.


“Maaf emak bapak aku mendapat nilai yang kurang dalam ujianku.” Sambil murung dan sedih dihadapan emak dan bapak. “Tapi aku mengerjakannya sendiri, usahaku sendiri dengan jujur emak, seperti yang diajarkan bapak kepadaku” ucapku kepada emak dan bapak. Emak dan bapakpun nampak tersenyum dihadapanku. “jika emak dan bapak ingin nilaiku sempurna aku bisa saja melakukan hal tidak jujur seperti teman temanku yang mengerjakan ujian dengan contekan-contekannya emak bapak.” Sambil ku menatap emak dan bapak emak pun memandangku dengan senyum air mata. “Maaf emak mungkin usaha dalam belajarku masih kurang,dan mungkin aku juga perlu meningkatkan belajarku lagi demi membuat bangga emak dan bapak” ucapku terakhir kepada emak dan bapak. Emak langsung memelukku dan menciumku dengan bangga, disusul bapak dengan usapan tangannya dikepalaku dengan senyumannya.


Tapi apakah benar seperti itu? Tidak. Cerita tersebut hanyalah angan & harapanku yang tak pasti, imajinasiku di malam ini, dan khayalanku dikala menjemput mimpi. Yang selalu membawa isak tangis kesendirian dari pikiranku terhadap emak dan bapak. Bagiku Tuhan memang sayang kepadaku dan aku sadar bahwa cobaanya terhadapku, tidak semua orang dapat melewatinya dan menjalaninya sepertiku. Tengah malam menjemput pagi, dan aku kembali kedalam rumah untuk beristirahat di ranjangku. Sebelum tidur, aku selalu berdoa bahwa jika aku menutup mata nanti selalu ada cahaya dari kegelapan dan harapan-harapan indah muncul menjemput mimpi bersama kedua orang tuaku. Banyak orang menyebut bahwa surga ada di tempat tinggalmu, bagiku surga adalah dimana tempat aku berada bersama kedua orang tuaku.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *