Cerpen: Bernegosiasi dengan Tuhan

Oleh: Lilis Setyowati

Usia yang tidak mudah. Semenjak berkepala dua, segala hal jadi begitu rumit, terkadang juga sesak. Aku di temukan pada satu malam yang benar-benar membuatku berfikir hingga overthingking. Menatap dinding penuh wishlist, yang tidak pernah ku selesaikan.

Di samping itu, sebagai mahasiswa yang biasa-biasa saja, aku merasa tugasku hanya terjabarkan, tidak pernah ku garap, apalagi terselesaikan. Selain itu, dengan kesibukanku sebagai freelance sampingan, tidak pernah sejalan dengan segala strategi yang ku buat. Hidup ini benar-benar berantakan. Berantakan sekali.

Kaya akan keinginan, miskin tindakan. Banyak protes, sedikit berproses. Segala hal rumit, mencekik, dan merusak pola pikir. Seperti percuma ketika aku banyak menempel poster, pamflet di dinding kamar, juga di meja belajar. Sia-sia saja sebab aku hanya membaca, tidak merealisasikannya dalam bentuk tindakan.

Di samping mengerti akan aku yang malas, dan tak tahu arah, kini seolah banyak hadir masalah. Bukan sedikit, bukan hanya datang esok, lalu esok lusa berikutnya. Masalah seolah datang bersamaan, dalam satu waktu. Menyita pikiran, mendesaknya masuk. Gejala-gejala mulai timbul, aku bingung menyelesaikannya. Hidup ini sungguh rumit.

Aku tak menyangkal mengapa dewasa jadi seburuk ini. Terikat rasa malas yang berlebih. Ingin bangkit namun sulit. Padahal juga banyak cita-cita, visi jangka pendek, jangka panjang, dan beberapa keinginan yang harus di raih. Tapi, kita tahu bukan, tidak ada yang bisa menyangkal bagaimana keadaan seseorang. Banyak yang bilang, hidup bukan soal berkompetisi. Tapi, aku tidak berfikir demikian, karena untuk berjalan saja aku merasa cacat.

Siapa yang tahu, kondisi seseorang tiap malam. Segala hal jadi begitu pekik. Ambisi-ambisi hilang, putus asa semakin gemar singgah tanpa di minta. Pikiran kemana-mana, overthingking mulai menguasai isi kepala. Lantas, aku berfikir bahwa, apakah semua anak muda merasakan hal yang sama? Lantas, bagaimana penyelesaiannya.

Aku seperti tak tahu arah ingin pergi kemana. Yang ada, hanya diam, tidak berkutik, menatap dinding yang penuh dengan kata motivasi, tapi sebetulnya buntu dan kosong.

Sudah ku upayakan, membaca buku, melihat video dan segala hal yang memotivasi. Mengulik seputar orang yang menginspirasi. Rasanya sama saja. Bahkan, aku semakin takut bahwa ada apa dengan diriku yang sekarang. Banyak sekali harapan ku pupuk, tanpa ku siram.

Aku merasa seperti semak belukar yang mengharap tumbuh bunga. Akan percuma saja. Bahkan, aku berfikir untuk datang ke sebuah tempat. Di sudut kota, dimana aku dapat menemui psikolog.

Tapi, kali ini aku tidak sedang gila. Aku hanya sedang tak tahu arah. Tidak bisa menyikapi segala kondisi. Tuhan, ada apa ini? bolehkan aku datang dan bernegosiasi?. Jadi dewasa tak seindah ekspektasi. Rumit. Rumit sekali.

Aku benar-benar sedang hilang arah. Saban hari silih berganti, tetapi perang masih saja berkecamuk. Membuat dada sesak, air mata mengalir deras tiap malam, hati susah sekali di kendalikan. Aku jadi sering bergumam, tentang sebuah hidup tanpa penyelesaian, sama sekali tidak berguna. Bukan, bukan hidup yang tidak berguna, tapi pribadi ini yang sedang kacau.

Seringkalinya juga, aku membanding-bandingkan diri terhadap segala hal. Tapi, pada realitanya ini bukan satu-satunya solusi terbaik. Aku benar-benar ingin selesai, dengan hal yang tidak jelas, dan pada dia yang datang begitu saja tanpa aba-aba. Nyaris merusak hidupku.

Suatu hari, ketika pulang dari segala aktivitas yang menjenuhkan, aku duduk di depan satu-satunya jendela kamar. Menyeret bangku, duduk disana, menghirup nafas panjang. Menikmati sunset dari balik kaca jendela yang merupakan hobi menyenangkan, seharusnya.

Apalagi sembari minum kopi, menghabiskan hari dengan menatap langit yang mulai menguning. Sesekalinya, meletakkan secangkir kopi pada meja, dan memejamkan mata. Merenggangkan otot-otot kaki, juga fikiran.

Sesekali juga membawa perhatianku untuk mengamati segala hal, di kamarku. Tiba-tiba, pandanganku berhenti pada satu objek. Tepatnya di rak sudut yang banyak sekali buku. Letaknya tidak jauh dari jendela kamarku.

Tidak ada niat sedikitpun untuk pergi mengambilnya. Hanya memperhatikan dan mengamati. Tapi, ketika aku melihat ke arah rak buku yang penuh dengan novel, tiba-tiba saja dadaku berdetak cukup kencang.

Aku tak mengerti hal ini kerap terjadi ketika aku tak sengaja memperhatikan rak tersebut. Bukan pada raknya, tapi pada buku tebal yang letaknya di baris paling belakang.

Hal ini jelas membuatku penasaran, hingga membuatku bergegas menujunya. Alih-alih, aku melihat sampul berwarna emas perak. Aku buru-buru mengambilnya. Namun, ternyata dugaanku salah. Bukan, bukan buku novel atau materi kuliah, tapi Al-Quran yang menyelip di jajaran buku paling belakang. Usang, banyak debu, dan jarang sekali terjamah. Aku mengusapnya dengan lengan bajuku, sesekali meniupnya, dan memeluknya.

Aku kembali ke balik jendela, kemudian kembali duduk. Memeluk erat, dan sesekalinya memejamkan mata. Entah, tiba-tiba angin seolah masuk melalui celah-celah jendela. Jantungku berdetak hebat. Aku benar-benar dapat merasakan nafasku. Lalu, timbul pertanyaan di kepalaku bahwa, akankah ini jawabnya?

Malamnya, aku hampir saja seperti saban hari. Kira-kira overthingking dengan segala hal yang tidak jelas, yang kembali masuk menyelimuti manusia ringkih sepertiku. Aku teringat sesuatu.

Kemudian, ku arahkan untuk berwudhu dan mengambil Al-Quran dari rak buku. Aku membacanya, membuka tiap halaman dengan lembut. Membacanya perlahan, memaknai kalimatnya pelan-pelan. Usainya, kututup dengan doa sederhana, bahwa aku menginginkan kehidupan yang tentram, juga damai. Aku, ingin mengontrol dan memeluk diriku dengan baik.

Kau tahu, ada hal yang aku sendiri tak mengerti. Perasaan labil, yang memaksa sedih hingga tak terkondisi. Awalnya, aku merasa hidupku tidak terarah dan menjenuhkan. Namun, aku semakin sadar, barangkali Tuhan memberikan rasa sedih dan rasa bimbang, supaya kita dapat berfikir lebih dalam. Anak muda adalah satu usia dimana ia harus memilih jalan.

Namun demikian, bukan berarti jalan lurus tidak berkelok. Bakal banyak rintangan yang kadang mengusik pola pikir. Secerdas dan secerdik jadi anak muda, ia tidak bisa melewatinya dengan mudah, tanpa menyertakan segala hal yang berkaitan dengan Tuhan.

Tidak selamanya kesedihan itu buruk, ia bisa jadi satu pengantar yang baik, agar kita bisa lebih membuka mata, untuk berfikir bahwa adakah yang hilang dari kebiasaan baik kita. Nyatanya benar, kini Al-Quran menjadi saksinya.

Tidak perlu bernegosiasi dan menyudutkan Tuhan lagi. Sebab, apa-apa yang di berikan Tuhan sudah pasti baik. Semoga kita lekas mengerti, mengenai bagaimana menyiram hati dan pola pikir ini supaya tumbuh subur dan berbunga.

Kau tahu, semenjak hari itu, aku lebih bisa mengatur diriku yang keras kepala dan kerap tersesat. Jadi, mari dewasa dengan baik tanpa perlu rumit. Tidak perlu bernegosiasi lagi. Panjang, maupun lebar. Kita, selalu punya petunjuk. Lihat, buka almari dan rak buku, barangkali dia sudah lama tidak tersentuh.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *